Madu bukanlah sesuatu yang asing di keluarga saya. Kakek saya, almarhum sering mencari madu liar. Buruan utamanya adalah madu odeng, madu yang dihasilkan lebah hutan raksasa dengan nama latin apis dorsata.
Tak mudah mendapatkan madu jenis ini, karena lebah odeng biasa bersarang di pohon-pohon besar dan menggelayut di atas dahan yang tinggi. Belum lagi ini adalah jenis lebah yang ganas. Sengatannya berbahaya dan bisa mematikan. Tapi kualitas madunya, jangan ditanya.
Karena sulit dan tak selalu mendapatkannya. Kakek juga sering berburu madu yang dihasilkan lebah biasa. Sarangnya lebih mudah ditemukan. Seringkali bahkan tak jauh, di atap langit-langit rumah panggungnya pun ada.
Ada lagi madu lain yang sering didapatkan kakek, yakni madu teuweul atau di tempat lain disebut juga dengan klanceng atau kelulut. Teuweul bukanlah lebah jenis apis yang bersengat, warnanya hitam dan ukurannya kecil. Biasanya membuat sarang di lubang pohon tua, atau bahkan di tiang kandang kambing.
Madu teuweul juga khasiatnya banyak, rasanya lebih asam. Sayangnya, meski mudah dibudidayakan juga, madu teuweul jumlahnya sangat sedikit. Dalam satu sarang bisa dapat lima sendok makan saja sudah bagus.
Kebiasaan mengkonsumsi madu dari kakek itu menurun pada ayah saya yang rutin mengkonsumsi madu. Bedanya, karena ayah saya adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS), ia tak punya waktu untuk mencari atau membudidayakannya. Jadi lebih banyak membeli dari para pemburu, atau ternak yang dijual di toko.
Entah ada hubungannya atau tidak dengan kebiasaannya mengkonsumsi madu, baik kakek dan ayah saya sama-sama dikaruniai usia yang panjang. Kakek meninggal di usia 111 tahun. Ayah saya saat ini berusia 81 tahun.
Usia memang rahasia Tuhan, tapi soal kesehatan, keduanya memang prima. Sebelum meninggal, kakek tak pernah mengeluh sakit, dan aktif bertani. Ayah saya, setelah pensiun sempat menjadi sekretaris desa dan sekarang menjadi pengurus Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Ciamis-Banjar sampai tahun 2026 nanti.
Kembali soal madu tadi, ketika masih tinggal bersama orang tua hingga tamat SMA, saya juga sering ikut mengkonsumsinya. Sayangnya kebiasaan ini terhenti ketika menjadi mahasiswa perantauan di Makassar, Sulawesi Selatan.
Namanya anak kos, hidup kurang teratur, terutama soal makanan. Makan dua kali sehari sudah bagus. Mengkonsumsi madu, karena harus beli, jadi terlupakan dan akhrinya benar-benar berhenti lama.
Saat itulah kesehatan saya mulai menurun. Masa SMA masih rajin bersepeda --bahkan beberapa kali bersepeda sendirian Ciamis-Bandung PP, saat kuliah, berhenti total. Belum lagi mulai melakukan kebiasaan buruk lain, merokok. Madu diganti rokok. Olahraga berhenti, badan kurang gerak. Penyakit sinus makin sering kambuh. Capek sedikit, kena perubahan cuaca sedikit, langsung ngedrop.