Hampir genap tujuh tahun yang lalu, dalang wayang golek kawakan, Asep Sunandar Sunarya berpulang (31 Maret 2014). Kepergiannya bukan hanya meninggalkan duka bagi keluarga, tapi juga bagi para penggemar wayang golek, orang Sunda, dan tentu saja Indonesia bahkan dunia juga kehilangan salah satu tokoh budayanya.
Dalam dunia pentas wayang golek yang diidentikkan dengan budaya Sunda (Ada juga wayang pentas wayang golek berbahasa Jawa), nama Asep Sunandar Sunarya nyaris tak ada tandingannya. Bahkan yang dianggap sepadan pun tak ada. Sebuah kondisi yang menunjukkan bahwa dalang yang terlahir dengan nama Asep Sukana ini benar-benar seorang maestro. Di sisi lain juga menimbulkan keprihatinan, karena seolah tak ada lagi dalang wayang golek 'yang lain.'
Silakan buat survey, dengan pertanyaan dasar 'siapa dalang wayang golek (Sunda) yang Anda kenal.' Pastilah Asep Sunandar Sunarya yang duluan disebut. Urutan kedua? Mulai macet. Bahkan mungkin ada lagi yang tak bisa menyebutnya. Apalagi bagi orang Sunda perantauan, termasuk saya.
Bandingkan saja misalnya dengan wayang kulit, yang identik dengan budaya Jawa. Ada banyak nama dalang beken yang bisa disebut, Ki Nartosabdo, Ki Anom Suroto, Ki Manteb Soedharsono dan yang lainnya. Belum lagi dalang-dalang baru yang naik daun seperti Ki Hadi Sugito, atau Ki Seno Nugroho (baru saja berpulang akhir tahun 2020 kemarin).
Apakah regenerasi dalang wayang golek di Tatar Sunda macet? Sebetulnya tidak juga.
Di zamannya, Asep Sunandar Sunarya yang membesut Padepokan Giri Harja 3 tidaklah sendirian. Sebagai trah dalang Abeng Sunarya yang dikenal sebagai Abah Sunarya, ia 'bersaing' dengan saudara-saudaranya yang juga cukup populer, misalnya saja Ade Kosasih Sunarya (Giri Harja 3) yang tak lain dari kakaknya. Saudaranya yang lain juga mendalang, seperti Ugan Sunagar Sunarya (Giri Harja 4), Iden Subasrana Sunarya (Giri Harja 5), dan Agus Supangkat Sunarya (Giri Harja 6).
Sang Kakak, Ade Kosasih, dianggap paling 'sepadan' waktu itu. Belum lagi ada nama di luar trah Sunarya yang juga beken, yaitu Dede Amung Sutarya yang tak lain dari keponakan dalang senior Amung Sutarya.
Dari trah Sunarya saja, saat ini Ade Kosasih Sunarya menurunkannya pada anak-anaknya, setidaknya ada dua nama yang bisa disebut, yaitu Deden Ade Kosasih Sunarya dan Adi Konthea Kosasih Sunarya. Asep Sunandar Sunarya menurunkan pula pada nama Dadan Sunandar Sunarya dan Yogaswara Sunandar Sunarya. Belum lagi dari trah Sunarya yang lain, banyak nama yang bisa disebut.
Akan tetapi, kenapa nama Asep Sunandar Sunarya seolah sulit tergantikan sehingga muncul kesan tak ada lagi dalang yang 'sepadan' dengannya? Ada beberapa alasan yang setidaknya saya amati.
1. Prestasi
Tanpa mengesampingkan prestasi dalang-dalang lain, Asep Sunandar Sunarya adalah dalang yang sarat akan prestasi. Tahun 1978, 82, dan 85 ia menyabet gelar Dalang Pinilih I ajang Binojakrama Pedalangan. Tahun 1985 ia memboyong Bokor Kancana sebagai lambang supremasi pedalangan Sunda. Setahun kemudian, ia terbang ke AS sebagai Duta Kesenian Indonesia. Berikutnya, 1993 ia diminta menjadi dosen luar biasa di Institut International De La Marionnette di Charleville, Perancis dan diberi gelar professor. Setahun kemudian, ia pentas di berbagai negara lainnya, Inggris, Belanda, Swiss, Belgia dan sebagainya, hingga akhirnya mendapatkan Satya Lencana Kebudayaan dari pemerintah RI tahun 1995.
2. Inovasi
Soal ini pun bisa diperdebatkan, apakah Asep Sunandar merupakan inovator dalam dunia wayang golek atau hanya mempopulerkan inovasi-inovasi yang sudah dilakukan dalang-dalang sebelumnya. Misalnya saja, jika menyebut penggunaan Gamelan Selap (gamelan multilaras), hal itu dianggap sebagai inovasi Dede Amung Sutarya.
Mungkin yang khas dari Asep Sunandar adalah kemampuannya memadukan cerita, dakwah, dan humor yang mumpuni. Dakwahnya dianggap tak 'menggurui' karena 'dialihkan' pada wayang-wayangnya, misalnya melalui para Punokawan (Semar, Cepot, Dawala, Gareng), atau bahkan tokoh 'buta' pun bisa 'berdakwah' meski ia ditaruh di posisi antagonis sekalipun.
Sementara sisi humornya dipadukan dengan inovasi pada tokoh wayang-wayang di luar pakem Mahabarata. Untuk tokoh si Cepot misalnya, Asep tak hanya membawa satu wayang, melainkan beberapa. Ada si Cepot yang kepalanya bisa mengangguk, ada yang berkaki (walau sebelah) saat ia ngibing atau jaipongan, dan sebagainya. Belum lagi tokoh buta (butho, raksasa, bukan tuna netra ya) yang aneh-aneh, bisa memuntahkan mie, merokok, dan sebagainya.
3. Budaya Populer
Rekaman (kaset) dan radio (termasuk kaset yang diputar di radio) menempatkan Asep menjadi selebriti lokal. Hingga tahun 90-an, ketika radio sangat populer, rekaman (audio) pertunjukan Asep Sunandar terdengar di mana-mana. Dalam dunia rekaman, Asep mengikat kontrak dengan SP Record, Wisnu Record, dan Dian Record. Tak kurang dari 100 judul album rekaman wayang, termasuk yang khusus bobodoran yang laris manis di pasaran dan diputar di radio-radio.
Tak perlu membayangkan gerakan wayangnya, kelihaian Asep memainkan narasi dan vokal tokoh, membuat pendengar bisa hanyut dalam cerita, bahkan terbahak-bahak ketika rombongan si Cepot muncul.
Saat yang sama, Asep juga mulai menarik dunia televisi. Selain TVRI, Indosiar, dan TPI ikut mempopulerkannya dengan menayangkan pentasnya meski tentu saja tak semalam suntuk layaknya dalam pentas hajatan. Dan tentu saja yang paling populer adalah ketika stasiun TPI memberinya slot program yang bernama 'Asep Show' antara tahun 1994-2004. Memang bukan pertunjukan wayang golek penuh, hanya Asep dan si Cepot saja, tapi itu berdampak pada ikut naiknya pamor wayang golek, terutama di kalangan non-Sunda.
Setelah Asep? Nyaris tak ada dalang wayang golek yang manggung lagi di televisi. Hanya sesekali komedian Sule yang membawa wayang, tapi ia jelas bukan dalang sungguhan. Di kanal berbagi video Youtube, ketika kita mencari 'wayang golek' yang muncul teratas pastilah cuplikan pertunjukan Asep Sunandar Sunarya, sehinga membuat Asep seolah 'masih ada' dan 'tak ada yang lain.'
4. Surutnya panggung
Saat masih Berjaya, dalang-dalang beken seperti Asep bisa manggung nyaris setiap malam, apalagi di musim hajatan. Honor pentasnya bisa mencapai jutaan bahkan puluhan juta rupiah. Angka yang cukup besar, sehingga tak semua orang bisa mendatangkan Asep jika kocek tak kuat. Ketika 'menurunkan' ke dalang di bawahnya --yang tak sepopuler Asep---harganya tetap saja tinggi. Bukan apa-apa, pentas wayang golek melibatkan banyak orang, dari dalang, nayaga (musisi), hingga peralatan yang juga bejibun, satu truk pun kadang tak cukup. Belum lagi tuan rumah hajatan harus menyediakan panggung yang cukup besar dan lahan luas untuk pentonton. Hal yang makin sulit bagi orang di perkotaan.
Selain itu, harus diakui bahwa, persaingan pertunjukan tradisional --termasuk wayang---harus bersaing dengan budaya populer, terutama musik seperti pop Sunda dan dangdut. Pilihan ini, pelan-pelan menggeser dan menggusur popularitas pentas wayang golek dalam pesta hajatan. Selain lebih populer, dangdutan juga lebih mudah dan murah, cukup dengan satu alat (organ tunggal) sudah jadi, pengunjung pesta sudah bisa bergoyang dan nyawer. Syukur kalau mampu mendatangkan orkes dan penyanyi terkenal.
Poin nomor empat tampaknya menjadi penyebab utama sulitnya dalang-dalang baru menaikkan pamornya. Jangankan naik pamor sampai tingkat nasional atau bahkan dunia, untuk mendapatkan kesempatan manggung pun makin langka.
Pemerintah daerah (kabupaten/kota) dan provinsi di Jawa Barat sebetulnya tak pernah lelah menjaga eksistensi kesenian ini. Festival pedalangan masih rutin digelar. Tapi jika panggung tak lagi disediakan oleh masyarakat karena pergeseran minat dan situasi, upaya ini jelas semakin berat. Regenerasi yang terus menerus pun, jika tak ada panggungnya, akan menjadi sia-sia. Dalang dan rombongannya butuh makan, bukan sekadar piagam atau piala. Lambat laun, profesi dalang akan semakin langka, atau bahkan amit-amit --jangan sampai---punah. Para dalang baru pun tampaknya harus belajar dari Asep Sunandar dalam hal inovasi. Penggunaan media baru mungkin bisa dilirik, daripada hanya menunggu undangan hajatan tiba.