Jauh sebelum internet menjadi 'perpustakaan' baru, menulis sebuah artikel 'serius' adalah hal yang cukup sulit. Data-data penting dan informasi tambahan yang dimasukkan untuk memperkaya tulisan harus didapatkan dengan susah payah; pergi ke perpustakaan, mencatat, lalu mulai menuliskannya.
Satu informasi 'kecil,' misalnya ibukota sebuah negara atau kota A tertelak di negara mana, harus membuka sebuah buku dulu --atlas misalnya---itupun masih terasa kurang. Harus mencari buku yang lain. Alhasil, waktu penulisan lebih banyak dihabiskan untuk mencari data. Atau, tertunda karena ada data yang kurang.
Sejak zaman aktif di Pers Mahasiswa, ketika membuat tulisan entah itu, yang berbentuk straight news, feature saya punya kebiasaan menyelipkan data-data 'kecil' seperti itu. Memang tidak penting, tapi memberi nilai lebih pada tulisan.
Ketika menyebut sebuah kota, letak negara saya tak cukup rasanya, perlulah pula dimasukkan informasi lain, seperti posisi --di pegunungan, tepi laut, pinggir sungai, cuacanya, dan sebagainya.
Apalagi saat menulis fiksi seperti cerpen atau novel. Berbagai informasi tambahan itu menjadikan deskripsi latar menjadi lebih hidup, baik latar tempat maupun latar waktu. Kan tidak lucu menulis cerita zaman Siti Nurbaya, tapi orangnya saling berhubungan dengan whatsapp misalnya. Sefiksi-fiksinya, kata Kenneth Burke, sebuah cerita itu harus punya rasionalitas.
Mencari data dan menuliskannya adalah dua hal yang berbeda. Mencari data bisa santai. Tapi menuliskannya, itulah yang masalah. Menulis butuh mood. Dan mood ini bisa hilang kalau lagi asyik menulis, butuh data yang sebetulnya 'kecil,' tapi terpaksa dihentikan karena harus mengubrek-ubrek buku atau mencari ke perpustakaan dulu.
Bisa-bisa balik dari perpustakaan mood-nya sudah hilang gara-gara menemukan ide baru. Mau nulis artikel ilmiah, pulang ke rumah malah jadi pengen nulis cerpen. Belum lagi kalo di perpustakaan melihat cewek gebetan sama cowok lain, mau nulis kisah cinta malah berubah jadi pengen nulis cerita kriminal.
Supaya tidak terganggu dengan kebutuhan berburu data kecil itu dan membuat mood melayang. Dulu saya punya buku yang judulnya 'Buku Pintar' yang ditulis oleh Iwan Gayo. Buku itu berisi beragam informasi kecil dalam banyak hal dan banyak bidang ilmu.
Dari lambang negara sampai lambang zodiak. Pokoknya, ibarat toko, itu adalah toko serba ada. Kalau dalam dongen Wiro Sableng, seperti sosok Kakek Segala Tahu, tapi dalam bentuk buku.
Bukunya tebal, dan tentu saja cukup menguras kantong. Yang bikin sebel, baru beli buku itu, beberapa bulan kemudian muncul lagi edisi revisinya. Terus begitu, karena memang banyak informasi yang terus diperbaharui. Nama-nama presiden, menteri, adalah contoh informasi yang sering di-update.
Saya punya buku itu pertama kali tahun 95-an. Entah edisi ke berapa, yang jelas edisi pertama buku itu adalah tahun 1986. Tak banyak teman-teman yang tahu kalau saya punya buku serba tahu itu. Itu jadi senjata rahasia saya dalam membuat tulisan. Beberapa kali saya memenangkan lomba menulis berkat bantuan buku itu.