Tidur di dalam umpel-umpelan, bau sampah dan bau-bau lainnya yang sering bikin mual dan hilang nafsu makan. Belum lagi kecoak yang berkeliaran. Bisa jadi perjalanan kecoak di lautan itu lebih panjang dari seluruh perjalanan saya di lautan.
Tidur di luar sedikit lebih nyaman, bebas dari bau, tapi harus melawan angin, kadang hujan. Pernah lagi enak-enak tidur, hujan turun deras. Pakaian basah, tas bekal juga basah.
Soal jatah makan untuk penumpang kelas ekonomi, kok rasanya mirip jatah makan narapidana, antri panjang, diberi makanan dengan alas seng dengan lauk seadanya, nasi, sayur, lauk (ikan, kadang telur). Rasanya, secukupnya. Kalau malas antri, beli mie rebus yang harganya beberapa kali lipat dari harga normal di daratan.
Mandi di kapal hanya pernah satu kali. Habis itu kapok. Bukan saja karena antrian yang panjang. Tapi airnya juga sering ngadat. Lagi asyik-asyik sabunan dan keramas, pancuran macet, airnya tak keluar. Orang-orang pada berteriak-teriak. Nunggu air ngalir entah kapan, sementara orang di luar memaksa gentian karena banyak yang kebelet. Terpaksa sabun dan sampo dibilas handuk kecil. Ceritanya saja mandi, keluar bukannya seger, tapi malah lengket bau sabun dan sampo.
Orang yang mandi di sebelah lebih apes lagi, celananya yang disampirkan di dinding memang utuh, tapi dompetnya lenyap.
Hiburan satu-satunya yang agak menarik --bagi para jomblowan terutama---adalah pertunjukan film di bioskop dek bawah. Filmnya apa? Jangan tanya judulnya. Yang jelas, filmnya, terutama yang diputar tengah malam, bebas sensor!
Kapal-kapal itu, katanya memiliki dua mesin, entah kiri-kanan atau depan-belakang. Kadang dihidupkan dua-duanya, kadang hanya satu. Tapi suatu ketika, dalam perjalanan ke Makassar dengan KM Kambuna, ada yang terasa aneh. Waktu itu, baru saja melewati kawasan Masalembo yang kata orang adalah 'Segitiga Bermuda'-nya Indonesia. Kapal terasa goyang. Biasanya sebesar apapun ombak, kapal tetap anteng.
Saya di dek luar waktu itu. Di bawah skoci. Pas melihat ke laut, kapal tidak bergerak. Taunya, menurut desas-desus, mesin kapal mati dua-duanya. Bukan dimatikan, tapi beneran mati, alias mogok. Orang-orang yang di dalam pada keluar, banyak yang mabok. Lumayan lama, sekitar dua jaman. Begitu kapal terasa bergetar tanda mesin menyala lagi, rasanya plong, dan kapal pun langsung anteng lagi.
Kapal terbaik dan terbersih yang pernah saya tumpangi waktu itu adalah KM Lambelu. Baru dioperasikan pertama tahun 1997. Saya ikut pelayaran pertamanya dari Makassar ke Baubau di Pulau Buton. Waktu itu dapat undangan liputan Festival Keraton Buton. Ruangannya masih seger, bersih, makanan enak, dan karena belum ada penumpang umum, masih kosong. Di kelas ekonomi pun masih terasa nyaman.
Apa betul itu kapal baru? Ternyata tidak. Pada sebuah bagian kapal, saya menemukan tulisan timbul, kapal itu dibuat di salah satu kota di Jerman, tahun 1986, alias 31 tahun sebelumnya! Kalau KM Lambelu yang 'baru' di tahun 97 saja aslinya kelahiran 86, terus bagaimana dengan kapal-kapal lain yang sudah lebih lama beroperasi?
Tapi itu cerita tahun 90-an, kawan. Ketika transportasi negeri kita masih jahiliyah. Lihat saja kereta api, tahun 90-an kan jahiliyah juga. Tapi sekarang, mereka sudah jauh lebih baik dan lebih beradab. Lalu apakah kapal-kapal milik Pelni masih 'jahiliyah' seperti dulu? Saya tak tahu, naik kapal terakhir tahun 2001, dan belum pernah lagi sampai sekarang.