Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Atalanta, Saatnya untuk Re-Branding!

24 Januari 2021   23:03 Diperbarui: 25 Januari 2021   01:18 1432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sepak bola, terutama berkaitan dengan Liga Italia, ketika menyebut nama I Nerazzurri atau 'Si Hitam Biru' pastilah ingatan akan tertuju pada Internazionale Milan alias Inter Milan. Memang begitulah faktanya jika merujuk pada kostum (jersey) yang dipakai Inter yang selalu tampil dengan corak khasnya, strip vertikal hitam-biru (nero dan azzurri).

Tapi sebetulnya, julukan Nerazzurri juga melekat pada tim lain sesama Italia, yaitu Atalanta Bergamasca Calcio atau Atalanta saja. Atalanta juga menyandang julukan itu, dengan alasan kostum yang dipakainya juga memiliki corak yang sama, hitam-biru.

Mana yang lebih 'berhak' menyandang julukan itu? Soal ingatan orang, Nerazzurri ya Inter yang lebih melekat.

Sesuai namanya, Internazionale, Inter juga lebih dikenal secara global ketimbang Atalanta. Bukan apa-apa, tolak ukurnya pastilah soal prestasi. Di pentas Serie A saja, Inter sangat superior dengan catatan 18 kali juara.

Sementara Atalanta belum sekalipun merasakan nikmatnya mengangkat trofi domestik tertinggi itu. Pencapaian tertinggi Atalanta di pentas lokal hanya sekali juara Coppa Italia. Itupun masih jauh dengan catatan Inter yang sudah 7 kali menjuarainya.

Itu kalau soal prestasi. Tapi kalau soal umur, Atalanta sedikit lebih tua dibanding Inter. Atalanta lahir 17 Oktober 1907, sementara Inter 9 Maret 1908, alias lebih tua lima bulan.

Masalahnya, meski Atalanta lebih dulu lahir, soal warna hitam-biru itu, Inter lebih dulu menggunakannya, bahkan sejak awal kelahirannya kombinasi warna itu sudah dipakainya.

Sementara Atalanta, hingga tahun 1920-an, mereka masih menggunakan warna hitam-putih ala Juventus. Jadi kalau bicara 'hak' untuk menggunakan warna hitam-biru, ya Inter tidak dipungkiri jauh lebih 'berhak.'

Hal itu memang tak pernah menjadi persoalan legal atau hingga menjadi persoalan hukum. Tapi ketika identitas menjadi brand image dan brand image menjadi ladang duit, dalam kacamata bisnis itu tidak menguntungkan. 'Brand' Nerazzurri meski 'netral' karena hanya urusan warna, sudah kadung 'dimiliki' dan 'dimenangkan' oleh Inter.

Karena itu, sudah saatnya bagi Atalanta untuk melupakan julukan yang mengacu pada warna bajunya. Atalanta masih punya beberapa julukan lain yang bisa diangkat, entah itu La Dea (dewi) maupun Gli Orobici (merujuk pada Alpi Orobie, pegunungan di Bergamo, kandang Atalanta).

Jika merujuk pada nama dan logo, julukan La Dea lebih pas. Atalanta sendiri diambil dari nama seorang dewi dalam mitologi Yunani.

Dalam ceritanya, Atalanta adalah seorang dewi yang ogah menikah, karena sudah kadung bersumpah pada Dewi Artemis. Atalanta adalah seorang pelari yang cepat dan sulit dikalahkan bahkan oleh para pria sekalipun.

Ketika bapaknya memaksa dia untuk menikah, Atalanta mengajukan satu syarat. Ia hanya akan menikahi pria yang bisa berlari lebih cepat darinya.

Akibat sayembara itu, banyak jomblowan yang tewas. Sampai akhirnya ia dikalahkan oleh Hippomenes yang meminta bantuan Dewi Aphrodite untuk memperlambat lari Atalanta.

Kenapa nama itu yang diambil menjadi nama klub sepakbola? Ini tak lain karena didirikan oleh para pelajar sekolah Liceo Clasico Paolo Sarpi, sekolah di Bergamo yang menggunakan metode belajar ala budaya dan bahasa Yunani kuno. Dan citra Atalanta yang pelari cocok untuk sebuah klub olahraga, termasuk sepakbola yang salah satunya mengandalkan kecepatan.

Meski nama Atalanta sudah dipakai sejak 1907, sosok Atalanta (dewi itu) baru muncul dalam logo (crest) tahun 1963. Atalanta si dewi itu muncul dalam sosok lengkap alias seluruh tubuh dengan pose berlari.

Tapi sejak 1984, logonya diganti lagi dan sosok Atalanta ditampilkan lebih besar dalam bentuk siluet dari samping, hanya bagian kepalanya saja dengan rambut yang berkibar ke belakang. Dengan sedikit perubahan tahun 1993, logo dewi Atalanta itu masih menonjol hingga saat ini.

Logo ini juga menjadi urusan pelik jika dikaitkan dengan brand image tadi. Apalagi sekarang, saat brand-brand dari seluruh dunia saling berinteraksi dan berebut pasar global. Pasalnya, nun jauh di Jepang sana, sebuah perusaahan minyak pelumas (oli) bernama Idemitsu menampilkan logo yang nyaris sama dengan Atalanta. Sama-sama diambil dari mitologi Yunani, dan berkaitan dengan citra 'cepat' yaitu Apollo.

Meski berbeda, yang satu dewi satunya lagi dewa, visual yang ditampilkan nyaris sama, siluet wajah dari samping dengan rambut berkibar (lihat gambar).

Celakanya, sepintas, bukan hanya mirip, tapi malah kebalik. Dalam logo Atalanta, sosok si dewi malah terlihat maskulin, sementara Apollo dalam logo Idemitsu malah terlihat feminin!

Tiga hal yang berkaitan dengan branding ini menjadi krusial bagi Atalanta sebagai sebuah entitas bisnis, bukan semata klub sepakbola. Sisi bisnis dan prestasi menjadi dua hal yang saling mempengaruhi dalam sebuah klub sepakbola modern.

Sukses dalam bisnis, bisa menaikkan alokasi dana untuk pengembangan tim (membeli pemain, pusat latihan, akademi, dan lain-lain). Sebaliknya, sukses dalam prestasi juga bisa berimbas pada bisnisnya (datangnya sponsor hingga menarik pemilik modal, misalnya).

Dari sisi prestasi, Atalanta memang belum bisa dikatakan sukses. Belum ada lagi trofi mayor di dekade ini. Tapi sejak kedatangan pelatih Gian Piero Gasperini tahun 2016, Atalanta mulai menunjukkan tren yang positif. Mereka berlaga di pentas Eropa.

Musim 2018-19 mereka mencatat prestasi domestik terbaik, nangkring di posisi ketiga, dan berhak berlaga di Champions League. Tak tanggung-tanggung, sampai di perempat final sebelum dipulangkan PSG.

Di Liga, kembali mereka menempati posisi ketiga, lagi-lagi bisa bermain di Liga Champions musim 20/21. Untuk kedua kalinya, mereka lolos dari fase grup mendampingi Liverpool setelah menyingkirkan raksasa Belanda, Ajax Amsterdam.

Pencapaian ini, membuat pecinta bola di dunia mulai melirik klub ini, dan tentu saja sponsor, baik yang sudah maupun yang sedang menimbang-nimbang. Bahkan para pemainnya, yang tadinya tak dianggap, mulai diperhatikan. Nama-nama seperti Duvan Zapata, Alejandro Gomez, Luis Muriel, dan lainnya mulai dilirik oleh klub-klub lain.

Hingga pertengahan musim ini, Atalanta masih moncer. Kehadirannya mulai mengganggu tim-tim mapan lawas, Inter, Milan, Roma, Juventus, Lazio, Napoli, dan lainnya. Tiga nama yang disebut terakhir bahkan tercecer di belakang Atalanta dalam hal posisi klasemen.

Di pentas Liga Champions Eropa pun demikian. Ketika Nerazzurri yang lain, Inter Milan, pulang duluan sebagai penghuni dasar klasemen grup, masih ada satu Nerazurri yang lain yang bersinar, ya Atalanta ini. Dan ini sungguh merugikan Atalanta. Banyak orang yang kecele ketika tim berbaju hitam-biru ini mentas di laga bergengsi Eropa, orang masih banyak yang menyangka yang main adalah Inter Milan! Hal yang buruk bagi pemasaran!

Jadi, ketika tim olahraganya sedang berbenah di bawah asuhan Gasperini yang disokong oleh presidennya Antonio Percassi --yang mantan pemain bola juga, sudah saatnya manajemen dapur Atalanta juga berbenah.

Dari sisi branding, tiga hal utama tadi, julukan, warna kostum dan logo, perlu dipikirkan ulang. Lupakan julukan Nerazzuri yang sudah kadung melekat dengan Inter Milan. Mulai perkenalkan salah satu dari dua julukan lain, La Dea atau Gli Orobici; dua julukan yang masih sayup-sayup didengar para pecinta sepakbola.

Bersamaan dengan itu, pertimbangkan pula untuk menggunakan warna kostum yang berbeda. Jikapun dua warna itu masih dipakai, jangan memakai pola strip vertikal yang sudah kadung melekat dengan kostum Inter. Mungkin diagonal atau asimetris.

Belajarlah pada Udinese yang dulu corak kostumnya (hitam-putih) sempat dibanding-bandingkan dengan Juventus yang sudah sangat mapan, dan sempat 'meresahkan' si Nyonya Tua ketika prestasi Udinese sedang menanjak. Tapi begitu anjlok lagi, gambaran strip hitam-putih ya balik lagi pada Juventus.

Dan ketiga ya soal logo itu. Tak perlu meninggalkan sosok Dewi Atalanta yang sudah sesuai dengan nama dan filosofi klub, tapi rancang tampilannya yang perlu diganti. Entah itu menampilkan sosok utuh Atalanta seperti logo tahun 1963, atau mungkin dengan desain lain yang lebih segar, tak lagi serupa dengan gambar Apollo yang dipakai Idemitsu.

Bingung rancang desain kostum dan logonya? Bikin lomba. Kalau tidak, yaa bolehlah kontak saya. Nanti saya rancangkan. Gini-gini, saya pernah bikin logo tim dan rancangan jersey tim sepak bola, meski kelas tarkam saja. Sebagai imbalannya, saham klub satu persen saja sudah cukup, nggak usah banyak-banyak. Jangan bilang mahal, ide saya soal re-branding ini juga bisa mahal kalau mau diduitkan. Saya juga sudah berbaik hati membagikan ide ini secara gratis di Kompasiana!

Satu-satunya yang membingungkan buat saya hanya soal artikel ini. Mau ditaruh di kanal 'bola' atau kanal 'bisnis'? Jadi biar saja admin yang menentukan, asal jangan dipindahin ke kanal 'diary' saja. Diberi label AU lebih baik lagi, hehe....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun