Ada banyak cara untuk menikmati pertandingan sepakbola. Cara yang paling klasik ya datang langsung ke stadion, pake jersey replica, ngumpul bareng sesama pendukung satu tim, nyanyi-nyanyi, teriakin yel-yel, dan bersorak kalau terjadi gol ke gawang lawan.
Enaknya kalau nonton langsung, kita bisa merasakan atmosfir stadion, apalagi kalau penuh dan juga dihadiri supporter tim lawan. Tapi ya itu, kadang susah membedakan pemain. Belum lagi pas ada kejadian, entah itu pelanggaran atau ada gol. Kadang terlewat kalau kita meleng sedikit. Sudah gitu, nggak ada tayangan ulangnya. Pokoknya gol. Siapa yang bikin gol juga baru nanti diketahui setelah diumumkan.
Kalau tak bisa datang ke stadion, ya nonton dari rumah, lewat saluran televisi. Meski atmosfir stadion tidak terlalu terasa. Nonton di depan layar televisi, baik di rumah maupun saat nonton bareng (nobar) punya kelebihan. Selain lebih nyaman, bisa sambil ngemil, ngopi, ngudud, segala kejadian di lapangan ada tayangan ulangnya. Tak perlu khawatir. Kita bahkan bisa dengan yakin menyebut itu pelanggaran atau bukan; lebih ngerti daripada wasit. Kecuali setelah Video Asistant Refferee (VAR) diberlakukan, wasit pun bisa melihat ulang dan membuat keputusan ulangan.
Kalau menonton di televisi sekarang makin sulit, karena sebagian harus berbayar, bisa diakali dengan mencari siaran streaming gratisan. Modal kuota internet. Atau numpang wifi gratisan di warkop. Masih susah? Bisa mengikuti live score. Bisa lewat google, twitter, atau macam-macam.
Banyak jalan menuju Roma lah. Meski kalau mau nonton Liverpool ya jangan ke Roma. Apalagi zaman corona begini, nanti bisa berangkat tak bisa pulang.
Zaman dulu, sebelum tahun 2000-an, selain televisi, andalan untuk menonton sepakbola ya lewat siaran radio. Iya, 'menonton' sepakbola tapi di radio. Siaran langsung pula. Tapi jangan harap Liverpool versus MU, atau Milan vs Inter akan disiarkan di radio kita. Siaran yang 'ditayangkan' biasanya ya pertandingan sepakbola lokal.
Di stadion-stadion, biasanya disediakan tribun khusus untuk media, terutama untuk reporter radio. Ya, karena penyiar radio yang melaporkan pertandingan harus datang langsung ke stadion dan ngoceh tentang apa yang dilihatnya. Istilahnya adalah 'Laporan Pandangan Mata.'
Bagi saya, mereka ini adalah orang-orang hebat, bisa menghafal nama-nama pemain sambil melaporkan setiap peristiwa di lapangan, sampai ke gerakan-gerakan pemain.
Sobur melemparkan bola kepada Robby Darwis. Robby Darwis membawa bola, kotak-katik sedikit, umpan kepada Adeng Hudaya, Adeng kepada Ujang Mulyana, Ujang berlari dari sayap kanan, oper bola ke tengah kepada Ajat Sudrajat, Ajat berlari melewati dua pemain Manokwari, kotak-katik sedikit berikan kepada Djadjang Nurdjaman, tembak, dan Goooool sodara-sodara....
Suaranya merepet, cepat, karena harus mengikuti kecepatan pemain di lapangan dan perpindahan bola. Nyaris tak ada jeda. Ya iya lah, kalau jeda, 'penonton' radio di rumah mau apa? Melototin radio tanpa suara? Beda banget sama televisi, komentator atau yang melaporkan jalannya pertandingan bisa banyak jeda, karena penonton bisa melihatnya sendiri.
Apakah pemain-pemain yang disebutkan itu benar? Mungkin saja bisa keliru. Tapi 'penonton' mana yang akan protes kalau mereka nontonnya di bawah pohon mangga sambil memeluk radio transistor kesayangannya? Mau menyebut yang bikin gol keliru juga nggak ada urusan, yang penting skor harus jelas. Itu sudah lebih dari cukup.
Apakah 'menonton' sepakbola itu sama dengan menonton langsung atau di televisi? Tentu saja tidak. Tak ada yang ditonton selain pesawat penerima radio itu sendiri dan lingkungan di sekitarnya. Tapi itulah hebatnya para reporter siaran bola. Mereka bisa membangun apa yang disebut dengan Theater of Mind; sebuah pertunjukan dalam pikiran yang dibentuk melalui kata-kata si penyiar.