Kapan terakhir memakai telepon umum koin? Saya lupa. Tahun 2000-an, ketika saya hijrah ke Jakarta setelah tujuh tahun mengembara di Makassar rasanya sudah tak pernah menggunakannya lagi.
Pertama, saya nggak punya banyak teman yang bisa ditelpon meski hanya sekadar iseng. Kedua, meski masih banyak ditemukan di trotoar dekat halte angkutan umum, banyak pesawat telpon umum yang sudah nggak berfungsi. Ada yang tak mengeluarkan bunyi, ada yang putus kabelnya, ada yang hilang gagangnya, dan yang paling menyebalkan ya, telepon yang korupsi, duitnya ditelan dan tak dikeluarkan, tapi nggak bisa dipake.
Dan yang ketiga, karena saya sudah pegang hape, bukan untuk gaya-gayaan, tapi buat nungguin panggilan kerja. Toh, hape saat itu juga masih mahal, ya hapenya, ya pulsanya. Sayang kalau dipake buat iseng. Masak belum kerja sudah boros di pulsa. Terus makan gimana?
Padahal, awal-awal kuliah, tahun 94, telepon umum itu adalah andalan saya untuk berbagai keperluan. Mulai dari yang serius; menanyakan tugas pada kawan yang punya sambungan telepon di rumahnya, hingga yang paling mengasyikan; menggombali cewek-cewek; gomoreh; Gombal Modal Recehan.
Yup. Yang terakhir itu yang asyik. Memang tak semua cewek bisa digombali, karena tak banyak juga yang punya telpon di rumahnya. Teman kuliah yang cewek juga banyaknya perantau dari berbagai daerah yang ngekos, dan tak banyak yang kosannya menyediakan sambungan telepon.
Nah, di antara teman-teman cewek yang tidak banyak (punya pesawat telepon di rumahnya) itu, ada dua teman yang memberikan nomor telpon rumahnya pada saya. Keduanya bukan teman sejurusan atau sefakultas. Yang satu anak kedokteran, yang satu anak teknik elektro. Kenalnya saat sama-sama sekelas dalam penataran P4 yang dulu diwajibkan itu.
Yang pertama, sebut saja M, anak kedokteran, keturunan Tionghoa. Bapaknya punya toko kelontong besar dan cukup terkenal di dekat Masjid Raya Makassar. Dari awal, dia selalu duduk dekat saya, entah kebetulan atau sengaja, hehe. Begitu dia tahu saya dari 'Bandung' (saya nggak nyebut Ciamis asal saya, susah jelasinnya, dan dia juga kemungkinan besarnya nggak tahu), dia langsung akrab. Alasannya, dia sebetulnya pengen kuliah di Unpad, tapi nggak lulus. Dia pengen mencobanya tahun depan. Ia memberikan nomor telpon rumahnya. Dia bilang, saya harus menelponnya nanti kalau sudah selesai penataran dan kembali ke fakultas masing-masing. Saat itu, katanya, pasti sulit ketemu dan ngobrol.
Yang kedua, sebut saja Y, yang ini dari namanya kelihatan, keturunan Arab. Bapaknya dekan kedokteran, tapi malah kuliah di teknik elektro yang isinya kebanyakan cowok. Seperti M, Y juga mengaku suka ngobrol dengan saya karena logat saya yang berbeda, mungkin waktu itu bahasa Indonesia logat Sunda saya masih medok. "Saya suka kalo kamu lagi ngomong..." katanya. Ia pun memberi nomor telpon rumahnya. Bukan itu saja, hari terakhir penataran, dia malah membekali saya dengan sekresek uang koin 100, buat bekal saya menelponnya!
Usai penataran, saya memenuhi janji, dengan memakai telepon umum di ujung jalan, pinggir jalan raya penghubung Bandara Hasanuddin dengan pusat Kota Makassar, saya menelpon mereka. Enak di situ. Meski pinggir jalan raya, telponnya jarang yang make.
Dengan M, tak pernah ngobrol lama. Selalu berujung dengan janjian ketemu. Nonton film lah, nongkrong di Pantai Losari yang ramai dengan pedagang --hingga dulu dijuluki sebagai restoran terpanjang---atau ngobrol ngalor-ngidul di Benteng Rotterdam. Tiap ketemu, pasti dia bawa oleh-oleh, sekresek kebutuhan harian; odol, sabun mandi, sabun cuci, dll.. mungkin ngembat dari toko bapaknya. Ah, yang penting kan bukan saya yang nyolong.
Teman sekamar saya, Heru, anak Madiun yang juga kuliah di Kedokteran heran, kenapa saya selalu belanja padahal yang sebelumnya aja belum pada habis. Saya cuma cengar-cengir saja. Saya nggak mau bocorin habis 'kencan' dengan anak kedokteran juga, takut diserobot sama dia, haha... tapi belakangan dia juga tahu waktu si M nyamperin saya di kosan, dan Heru ada di situ.