Menyebut musik 90s memang rada-rada susah mengabaikan keberadaan para lady rocker seperti Nicky Astria, Anggun C Sasmi, Nike Ardilla, Inka Christie, Poppy Mercury, Conny Dio, Mell Shandy sampai generasi penerusnya seperti Nafa Urbach. Mereka-mereka ini sukses menggusur dominasi para penyanyi cewek beraliran pop tahun 80-an seperti Betharia Sonata, Ratih Purwasih, Nia Daniati dan sebagainya. Tapi tidak berarti bahwa musik 90s itu hanya milik para rocker hawa.
Di jajaran kaum adam, Slank yang mengusung jenis rock berbeda dari para rocker ayu itu menanjak dan mencapai puncak kejayaannya di tahun 90-an, dan masih bisa bertahan hingga kini. Rombongan rocker lanang umumnya muncul dalam format band. Selain Slank sebut saja Boomerang, Power Slave, Jamrud, Java Jive, Dewa 19, Protonema, dan buaaanyaaak lagi. Di antara yang tak banyak itu, ada juga solois macam Andy Liani (alm), Hengky Supit, dan lain-lain yang sempat mencuat namanya.
Rombongan band cowok memang tergopoh-gopoh dalam perjualan album mereka, masih dalam bentuk kaset ya. Penjualan kaset tertinggi, masih didominasi oleh rocker-rocker cantik itu. Indikasinya, tengok saja berbagai penghargaan musik saat itu --misalnya saja BASF award---yang mendasarkan penghargaan pada jumlah album yang terjual (maklum, sponsornya adalah produsen kaset pita). Di situ, nama-nama cewek mendominasi. Nike Ardilla misalnya, setiap albumnya tak pernah absen dari predikat 'platinum' yang kalau tidak salah saat itu patokannya adalah 150 ribu keeping.
Tapi bukan berarti yang cowok melempem. Album-album Dewa-19 (formasi awal dengan Arie Lasso vokalisnya) seingat saya juga menembus angka itu. Dua album awal Java-Jive juga konon tembus. Jamrud baru mendapatkannya di album Ningrat di penghujung tahun 90-an, bukan di album-album awal mereka. Maaf kalau datanya tidak valid, soalnya saya berusaha tak browsing atau googling, sambil mencoba menajamkan ingatan yang sudah makin tumpul dimakan usia ini.
Toh, yang mau saya tulis juga kenangannya. Bukan soal musikalitas, diskografi, dan sejenisnya --yang juga tidak saya kuasai, daripada dianggap sok tahu, hehe... Jadi biarlah saya mengenang satu band yang lahir pertengahan tahun 90-an dan masih bertahan hingga saat ini; GIGI (saya tulis dengan huruf kapital biar nggak ketuker sama perabot pengunyah di mulut kita).
Pertama kali mendengar band dengan nama nyeleneh ini --malah hampir dinamai 'orang utan' kalo nggak salah---adalah tahun 94 akhir. Saya baru hijrah ke Makassar sebagai mahasiswa baru. Rambut di kepala masih nggak jelas karena digunduli saat menjalani Ospek. Dan saya masih sedang 'panas-panasnya' menjadi fans Nike Ardilla. Lagu pertamanya, Angan, mampir di telinga. Rasanya? Aneh. Rock bukan, pop bukan, jazz juga jauh rasanya.
Penasaran, saya beli kasetnya (album Angan, 1994) di sebuah toko kaset di Pasar Sentral Ujungpandang (Makassar waktu itu) yang terkenal banyak pemalak dan copetnya. Beneran, pulangnya saya dipalak. Isi dompet bersih, pulang tinggal bawa bungkusnya. Kaset GIGI itu selamat --mungkin pemalaknya penggemar musik lain, hehe...
Meski mangkel tapi tak berdaya, kaset itu lumayan jadi hiburan. Sampulnya dibuka, personelnya diamati; Ronald, Baron, Budjana, Armand, Thomas. Hanya dua nama yang saya tahu, Armand Maulana yang sudah bikin album solo sebelumnya (masih dengan rambut gondrongnya), dan Dewa Budjana yang... walah pantesan.. gimana mau rock tulen, kalau gitarisnya saja dikenal sebagai musisi jazz!
Tapi itulah asyiknya. Menikmati album itu rasanya seperti menikmati permen nano-nano, manis, asem, asin; ada rock, jazz, pop dan nuansa-nuansa lainnya. Album kedua mereka, Dunia (1995) mulai melambungkan nama band ini. Lagunya, Janji menjadi hits mulai mencuri perhatian. Saya ke toko kaset lagi, kali ini di Panakukkang, kapok ke Pasar Sentral. Ini jadi album pelipur lara gara-gara Nike Ardilla 'meninggalkan' saya selamanya. Makanya, kalau ditanya album GIGI yang paling lekat dalam ingatan, ya album ini, dan Janji adalah lagunya yang paling abadi.
Album ketiga, 3/4 nongol tahun 96. Lagu jagoannya Damainya Cinta. Ada yang aneh dari musiknya. Dan bener saja. Satu gitarisnya, Baron, menghilang (katanya mundur mau sekolah). Pantesan satu gitar terasa mendominasi, taunya memang tinggal Budjana yang masih terasa banget pengaruh jazz-nya.
Album ke empat mereka 2x2Â (97) makin berasa 'ngaco'-nya. Pertama, mereka ganti label, dari Atlantic Records ke Cepee (punyanya Tantowi Yahya). Dan yang paling nyata membuat album ini 'ngaco' adalah formasi yang berubah total. Setelah tak ada Baron, nama Ronald (drum) dan Thomas (bass) menghilang. Gantinya, muncul dua nama, Budhy Haryono (drum) dan Opet Alatas (bass). Lagu jagoannya Bumi Meringis sudah nyeleneh, nggak ngomong cinta-cintaan lagi layaknya tiga lagu jagoan di album sebelumnya. Nyetel kaset pertama langsung disuguhi lagu instrumental Flamenco. Alat-alat musik lain seperti jimbe, bongo, banjo dan lainnya yang nggak 'ngerock' bertebaran di album itu. Duh, kok jadi gini? Bener aja dugaan saya, GIGI mulai ditinggalkan penggemarnya --termasuk saya yang mulai limbung. Album itu --konon---jeblok di pasaran.