Di balai desa Hutan Nusantara, Kang Guru diminta menyampaikan cerita fabel. Gara-garanya, hujan turun dengan deras diiringi sambaran petir beberapa kali. Akibatnya listrik padam, balai desa gelap-gulita. Padahal, warga RH (Rukun Hewan) 01 sedang berkumpul untuk menonton sinetan (sinema hutan). Untungnya Bu Aya yang rumahnya paling dekat datang membawakan lilin, jadi balai desa sedikit terang.
“Ya sudah, saya akan menceritakan dongeng Si Kampret Manusia Serakah!” kata Kang Guru.
“Haiya…, kenapa cerita manusia, bukannya fabel itu cerita hewan?” Ko Ala protes.
“Itu kalau yang cerita manusia, Ko. Kita kan hewan. Cerita fabelnya hewan, ya manusia. Kalau hewan ngomongin hewan lagi itu bukan cerita fabel, namanya gosip!” kata Kang Guru.
“Terus kenapa manusia namanya si Kampret, ta yeu?” Cak Rowo ikut nimbrung.
“Dalam dongeng yang dibuat manusia, tokoh hewan suka diberi nama manusia. Misalnya, Bona, gajah kecil berbelalai panjang. Ikan badut dinamai si Nemo. Singa dikasih nama Alex…” kata Kang Guru, “Karena itu, sekarang manusianya yang dikasih nama hewan!”
“Iya, tapi kenapa Kampret, ndak Cebong saja!” kata Cak Rowo lagi.
“Kumaha sih jadi ribet begini. Ini mau dongeng, bukan mau kampanye…” kata Kang Guru. “Ya sudah, namanya si Kancil saja, biar netral!”
“Kalau dibalik, kenapa manusianya masih serakah, harusnya kan pake sifat binatang dong…” Jang Krik ikutan protes. “Cerita fabelnya manusia kan memanusiakan hewan, sifat-sifat manusia dipinjamkan kepada hewan. Kalau Kang Guru tadi balik-balikin, berarti sekarang harusnya manusianya berperilaku seperti hewan, sifat-sifatnya juga kayak hewan!”
“Oh nggak bisa kalau sifat mah. Sifat hewan ada di manusia, dan sifat manusia juga ada di hewan…” kata Kang Guru.
“Beda Kang Guru… ada sifat manusia, ada juga sifat hewan..” Jang Krik masih keukeuh.