Episode Awal: (1) Soso
Episode Sebelumnya: (36) Ayah dan Anak
*****
Seminggu di Tiflis membuat Soso bosan luar biasa. Hanya bolak-balik rumah Pak Sese dengan toko bukunya Pak Yedid, lalu menghabiskan waktu di dalam kamar untuk membaca. Buku-buku memang menghiburnya, tapi kadang juga menyiksanya. Di luar sana aneka wacana baru bersliweran. Kadang terlihat masuk akal, tapi selalu ada celah untuk memperdebatkannya. Ada yang terlihat manis tapi terlalu utopis dan tak masuk akal dalam tataran praktis. Ada yang realistis tapi juga terlalu pesimistis. Ada yang terlalu realistis sehingga berbau atheis. Ada yang agamis tapi menjadi tidak realistis. Mana yang benar? Menurutnya semuanya benar dari satu sisi, tapi juga menunjukkan ketidaksempurnaan sebuah gagasan. Ya, bahkan sebuah gagasan pun tak bisa sempurna, selalu punya lubang, selalu ada celah, selalu punya sisi untuk dihantam oleh gagasan lainnya.
Dalam kebosanan seperti itu, ada godaan hatinya untuk menemui Irena. Gadis keturunan Ukraina itu sudah tak pernah dikunjunginya lagi lebih dari delapan bulan. Selama di Seminari, hanya dua kali Soso menemuinya. Hari-hari awal, dan bulan berikutnya. Setelah itu, ia sibuk dengan dirinya sendiri. Setelah kejadian dengan Bonia saat liburan Natal dulu, lalu disusul dengan kejadian dengan Natasha, ia merasa berdosa pada anak itu. Ia merasa tak pantas lagi mendekatinya. Tapi ia sungguh merindukannya. Saat menjadi buruh pabrik sepatu, satu-satunya kesenangannya adalah belajar bahasa, dan satu-satunya hiburannya adalah ngelayap bersama Irena, mengunjungi tempat-tempat di Tiflis yang tak pernah didengarnya, sementara Irena hanya pernah mendengarnya tapi tak pernah mengunjunginya. Klop.
Tapi Soso merasa saat-saat bersenang-senang seperti itu sudah lewat atau harus dikuranginya. Ia merasa sudah seharusnya berpikir lebih serius. Sudah saatnya ia memiliki tujuan hidup, atau setidaknya target-target tertentu yang akan dicapainya. Sejauh ini, targetnya hanya mendapatkan beasiswa untuk tetap bertahan di Seminari Tiflis. Untuk itu, ia merasa usahanya sudah cukup. Nilai sekolahnya bagus, dan seharusnya itu menggembirakan, meski ia sendiri tidak merasakan kegembiraan itu. Setidaknya mungkin, itu akan menjadi kegembiraan bagi Mak Keke jika mendengarnya. Ah, ia juga mendadak rindu dengan ibunya itu. apapun cerita orang, termasuk yang didengarnya dari Pak Sese, Mak Keke tetaplah ibunya, yang telah berjuang mati-matian agar hidupnya lebih baik. Sama dengan Pak Beso, seburuk-buruknya gosip, bapak kandungnya atau bukan, ia ikut membesarkannya sampai setidaknya usianya enam atau tujuh tahun. Ia masih 'beruntung' memiliki seseorang yang bisa disebutnya 'Bapak,' menyandang namanya di belakang namanya sendiri, dibandingkan dengan anak-anak lain yang 'tak punya bapak' dan harus menyandang nama keluarga dari pihak ibunya.
*****
Saat Soso meninggalkan rumah Pak Sese untuk mampir ke tempat Pak Yedid --karena nggak tahu harus kemana lagi---sebuah kereta kuda berhenti jalanan kecil depan rumah Pak Sese. Seorang lelaki turun. Ia mengenalinya, David Kabadze, pekerja losmen milik Jacob Egnatashvili alias Pak Koba, bapaknya si Yuri dan Bonia. Lelaki itu tampak lega ketika melihat Soso dan segera memanggilnya.
"Ketemu juga akhirnya..." katanya dengan wajah berseri-seri.
"Kok bisa nyampe sini Pak Daka?" tanya Soso.