Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (26) Wacana Versus Seni

22 Desember 2020   07:07 Diperbarui: 24 Desember 2020   23:14 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (25) Bedah Buku Marx

*****

Aneh rasanya bagi Soso kembali ke asrama setelah menghabiskan masa libur yang tak sepenuhnya berlibur itu. Peta dan Seva, meski mengakhiri liburnya di Gori sama seperti dirinya, masih bisa menikmati sisanya di Tiflis. Mereka dapat teman baru, katanya sih pacar baru juga. Tapi Soso, sudah di Gori singkat, di Tiflis pun ia tak kemana-mana. Hanya menghabiskan waktu di kamar membaca buku, dan menjadi pembicara di bedah buku yang diadakan oleh si Lado untuk serikat buruh Georgia yang dibangunnya.

Kadang Soso tak mengerti dengan pemikiran si Lado itu, apa sebetulnya yang ia perjuangkan pastinya. Ia tak pernah merasakan susahnya jadi buruh, seperti dirinya. Hidupnya juga nggak blangsak-blangsak amat, kaya enggak, kere juga jauh. Mungkin karena putus sekolah di Seminari Tiflis, dikeluarin juga di Seminari Kiev, lalu ia mulai menjadi pemberontak seperti kawan-kawan seangkatannya yang dikeluarin dari Seminari Tiflis.

‘Perjuangan’ model si Lado dan kawan-kawannya itu, bagi Soso terlihat ganjil. Tidak masuk akal. Bukan buruh, tidak pernah merasakan jadi buruh, tapi berjuang bagi buruh. Kalau sekadar bersimpati, mungkin masih oke. Bagi Soso, perjuangan pentolan rampok di Gori, Sandro Khubuluri, yang sudah mati dihukum gantung itu, jauh lebih masuk akal. Mereka dijebak dengan utang, tanah mereka disita, masih juga dikejar-kejar utang yang beranak-pinak bercucu-cicit. Kalau kemudian mereka menjadi perampok, merampok harta orang-orang yang menjerumuskannya dalam kemiskinan dan membagikannya kepada sesamanya yang bernasib serupa, itu masuk akal. Lepas dari persoalan moral, toh, siapapun yang ‘memaksa’ mereka berubah dari petani menjadi perampok juga sama-sama cacat moralnya.

Tapi si Lado dan kawan-kawannya itu? Kalau mereka dendam pada Rusia, dimana juga pangkal kedendamannya? Hanya karena dikeluarkan dari seminari dan di-black list di seluruh seminari seanteori Rusia? Nggak masuk akal, atau setidaknya tidak cukup kuat untuk menjadi pendorong. Bapaknya, Gregori Ketshoveli, pendeta juga guru di Gori. Hidupnya dibiayai negara dan gereja. Pokoknya, Soso tak melihat adanya pemantik yang membuat si Lado tiba-tiba berubah haluan. Kalau mau, sebetulnya si Lado masih bisa mengubah arah hidupnya, mungkin tak jadi pendeta, tapi bisa masuk sekolah administrasi, jadi pegawai. Bapaknya mampu membiayai, anaknya cukup cerdas. Tak perlu menjadi pendeta seperti bapaknya jika jalannya sudah tertutup. Itulah yang masih membuat Soso penasaran.

Meski begitu, semakin sering Soso diajak ke dua tempat itu, partai dan serikat buruh, tidak dipungkiri bahwa dirinya juga mulai menikmatinya. Sejauh itu, ia memang tidak berkomitmen apapun. Datang ya datang saja. Diajak diskusi ya ayo aja. Diminta bedah buku ya siap saja, apalagi ada honornya, hehe… Ada dinamika pemikiran yang mengasyikan di sana. Ia mempelajari dinamika sosial, dan membanding-bandingkannya dengan para pemikir-pemikir dunia lewat karya-karya mereka. Gagasan-gagasan sains, ekonomi, politik, kenegaraan, filsafat, hingga agama berkelindan, saling bertabrakan di sana-sini, tapi di saat yang sama juga saling menguatkan pada beberapa titik.

Dan sejauh itu, pergulatan wacana itu tidak membuatnya limbung. Soso masih menjadi orang yang netral dan bebas nilai. Misalnya, ketika berdiskusi tentang asal mula kehidupan, ia tidak menjadi Darwinian, tapi tidak juga terkekang doktrin gereja. “Saya tidak melihat Darwin sebagai penentang keberadaan Tuhan. Ia berpijak dari logika ilmiah yang dipegangnya teguh. Hasilnya memang seperti bertolak-belakang. Kalau kita melihatnya dengan perspektif agama, harusnya pemikirannya itu menjadi penguat keyakinan bahwa Tuhan memang hebat dan misterius. Titik-titik dimana Darwin tidak bisa menjelaskannya, adalah titik dimana Tuhan itu berada…” kata Soso, dalam sebuah diskusi yang lain.

Ia tidak suka ketika Tuhan diabaikan dalam pemikiran-pemikiran tentang dunia, meski memang sulit menariknya dalam penjelasan logis. Tapi di saat yang sama, ia juga tidak menyukai doktrin-doktrin agama yang mengabaikan ilmu pengetahuan, seperti yang terjadi di dalam lingkungan sekolahnya. Baginya, agama bukan ajaran untuk meninggalkan dan mengabaikan keduniaan. Agama harusnya menjadi jembatan, dan entitas keagamaan bukan entitas ekslusif yang merasa dirinya paling benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun