“Iya tau…” kata Gisa lagi. “Menurut si Devo, info dari bapaknya, ini jalur yang sengaja diambil untuk mengelabui kawanan perampok…”
Dada garuk-garuk kepala, “Mengelabui perampok dengan melewati jalur perampok? Mengelabui perampok dengan menggunakan kereta saudagar? Aneh…” gumamnya. Tapi ia tak mau bertanya lagi. Toh, ia cuma ikut-ikutan saja, sebagai rasa solidaritas buat temannya, si Gisa itu, yang bapaknya dituduh sebagai komplotan rampok.
“Terus kita ngapain?” tanya anak lain, Tamaz Baratashvili alias si Tata.
“Tugas kita memantau jalan, jangan sampai rombongan keburu lewat dan anak-anak lain belum bersiap…” jawab Gisa.
“Kalau rombongannya keburu lewat gimana?”
“Ya kita tunggu anak-anak lain, nggak mungkin kita sergap..” jawab Gisa. “Udah diem aja, tunggu perintah aja, nggak usah banyak nanya…” jawab Gisa. Ia sendiri sebetulnya tidak tahu apa persisnya yang akan mereka lakukan nanti.
“Polisi Gori sudah punya senjata api belum sih?” tanya si Tata lagi.
“Ada, bekas tentara Tsar yang dipake perang lawan Ottoman. Kalau yang dipakai tentara Tsar sekarang lebih bagus lagi, katanya bisa lima peluru sekali ngisi…” jawab anak yang lain, Nikoloz Dadiani alias si Niko.
“Kok kamu tau?” si Tata meliriknya sambil merapatkan mantelnya.
“Aku kan pengen jadi polisi gara-gara pengen punya senjata gituan…” jawab Niko.
“Terus ngapain sekarang ikutan? Kita kan mau bebasin perampok dari polisi!” kata si Tata lagi.