Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bangsa Kita, Bangsa Protozoa

18 Maret 2012   15:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:52 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Dalam biologi, ada yang namanya protozoa, hewan tingkat rendah yang berkembang biak dengan cara membelah diri. Penyebabnya dia hanya punya satu sel, dan nggak jelas jenis kelaminnya alias aseksual...” kata Jang Maman, penyuluh pertanian di Cibangkonol pada saat penyuluhan pengembangan bibit tanaman holtikultura. “Dalam dunia tumbuhan, pengembang biakan model ini bisa dilakukan dengan cara buatan, misalnya dengan stek, cangkok, sambung, atau okulasi...” tambahnya.

“Kenapa hewan itu harus membelah diri, Jang? Memangnya dia nggak setuju sama badan sebelumnya, jadi nyempal dan membentuk organisasi sendiri?” tanya Mang Oking, mungkin saking bingungnya mendengarkan penjelasan Jang Maman yang terlalu ‘tinggi’ itu. “Maksud Mamang?” Jang Maman, balik nanya. “Ya itu, kayak PSSI, karena tidak setuju dengan pengurus, maka dibuatlah PSSI tandingan. Bukannya itu model-model protojoa tadi, membelah diri...” sambung Mang Oking.

“Kok jadi ngomongin PSSI...” Jang Maman bingung. “Ya kan Ujang ngomongin membelah diri. Di negara kita kan hobi pisan yang namanya membelah diri. Ada pengurus partai yang tidak setuju dengan ketuanya, terus membelah diri, dibuatlah partai tandingannya. Dikasihlah embel-embel ‘perjuangan’ atau ‘permbaruan’ atau ‘reformasi’ atau ‘versi A’ ‘versi  si Anu’ dan macem-macem...” sambung Mang Oking yang di musim kampanye –kampanye apa saja, paling hobi turun ke jalan. Baginya, semakin banyak partai politik semakin banyak honor kampanye yang didapat, plus bonus kaos oblong buat dipake macul.

“Mang Oking teh kumaha (bagaimana) sih, itu mah namanya dualisme, bukan membelah diri atuh...” Mang Jarot menimpali, membuat masalah perholtikulturaan itu jadi tambah melebar nggak jelas. Mang Oking melirik pada Mang Jarot, “Beda atuh Rot, dualisme mah kalau ada perbedaan tujuan. Nah kalau membelah diri mah tujuannya sama...” jawab Mang Oking.

“Lah, bukannya PSSI atau partai atau organisasi apalah yang jadi dua itu kan beda tujuan, makanya ada dualisme, terus melahirkan organisasi yang baru...” timpal Mang Jarot lagi. Mang Oking nyureng, “Ya enggak lah, kata siapa beda tujuan? Tujuannya mah sama, sama-sama pengen berkuasa, sama-sama pengen memegang kendali, sama-sama pengen jadi pimpinan, sama-sama  nggak mau ngalah, sama-sama nyari makan, dan sama-sama yang lain-lainnya. Yang beda itu rombongannya, yang satu merasa nggak keajak di rombongan yang lain, makanya bikin rombongan sendiri. Kalau rombogannya sudah dirasa cukup kuat, barulah berusaha menggantikan rombongan lain. Kalau tidak berhasil, baru membelah diri. Mirip si protojoa yang dikatakan Jang Maman tadi!” kata Mang Oking keukeuh bin ngotot.

“Mang, yang namanya protozoa, itu membelah diri dengan keadaan sadar, tujuannya untuk mempertahankan hidup, regenerasi... kalau yang dikatakan Mang Oking tadi mah bukan regenerasi, tujuannya beda...” kata Jang Maman yang malah ikutan terjebak ngomongin ‘belah diri’ dan ‘dualisme’ itu.

“Sama saja Jang, sama-sama ada tujuannya masing-masing. Tujuannya sama-sama bertahan hidup...” timpal Mang Oking. Jang Maman menimpali lagi, “Beda lah Mang, kalau protozoa, setelah membelah diri, organisme induknya suka mati untuk menyerahkan kelanjutan hidup golongannya pada generasi yang baru. Kalau organisasi yang membelah diri itu kan sama-sama nggak mau mati...”

Mang Oking tambah ngotot, “Ah sama aja Jang. Kadang induk organisasi yang membelah diri itu kan mati. Nggak jarang yang hidup justru yang sempalannya itu.. partai saya juga begitu, dulu nyempal dari yang lama, tapi sekarang yang lama malah almarhum, tapi yang sempalannya tetap hidup meski harus pake embel-embel ‘perjuangan’ di belakang namanya...”

Mang Jarot nimbrung lagi, “Menurut Jang Maman yang belajar dunia perprotojoaan, kira-kira PSSI mana yang akan hidup?” tanyanya sambil menatap Jang Maman yang keliatan bingung. “Mang Jarot, saya mah ahli pertanian, bukan ahli sepakbola dan politik!” kata Jang Maman. “Aaah, soal ahli mah orang kita kan pinter pindah jalur. Yang biasa ngomongin politik aja bila perlu bisa mendadak ahli sepakbola. Yang ahlinya nyanyi sama maen pilem, bisa jadi politisi. Yang ahlinya ngelawak saja bisa jadi anggota dewan. Masak Jang Maman nggak bisa belok dari ahli pertanian jadi ahli politik, menteri pertaniannya aja belum tentu bisa bertani kok...” kata Mang Jarot.

Ulis Kodir, sekretaris desa yang hadir di acara penyuluhan itu terpaksa menyela. “Ini teh kok jadi ngomongin politik sama sepakbola sih!” katanya. Mang Jarot melirik Ulis Kodir, “Nah, sekretaris desa kita juga kan sekolahnya SMK jurusan mesin, tapi sekarang ngurusi administrasi desa, tapi tetep ahli kan...” katanya. Ulis Kodir melirik Mang Jarot, “Saya mah nggak ahli administrasi Mang, cuma karena nggak ada kerjaan lain, ya lumayan jadi sekretaris desa juga, sambil nungguin diangkat jadi PNS...” timpalnya. “Nah itu, yang disebut ahli saja belum tentu bener kerjanya, apalagi yang bukan ahlinya, ya kayak pengurus PSSI sama PSSI protozoa itu, dua-duanya sama-sama nggak jelas, yang satu profesor perkebunan, yang satu pengusaha dan aktipis ormas, nggak ada yang nyambung...” Mang Oking nimbrung lagi.

Karena porum, eh forum penyuluhan itu makin nggak jelas, Kabayan yang sejak tadi ikutan menyimak dalam kebingungan, akhirnya angkat bicara, “Sebentar sodara-sodara. Kalau penyuluhan ini berubah jadi penyuluhan masalah sepakbola, saya akan bikin penyuluhan tandingan yang berdasar statuta...” katanya. Semua orang melirik si Kabayan.

Tah eta.. bener, harus sesuai statuta!” kata Ulis Kodir sambil mengacungkan jempol pada Kabayan. Mang Oking langsung menyela, “Sebentar, statuta yang mana dulu, hasil kongres di Bali atau...”

Belum selesai Mang Oking ngomong, peserta penyuluhan langsung bubar, termasuk Ulis Kodir yang memilih diberi sanksi oleh Pak Kades daripada ngurusin persoalan ruwet itu!

Jogja, 18 Maret 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun