Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Yang Ngasih Nama Anakku: Mbah Google

27 Februari 2012   02:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:57 1303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena ada undangan akikahan anaknya Asep Ridwan Danuwiria dan Neng Lilis Suprihatin, Nyi Iteung terpaksa mengajak Kabayan suaminya untuk menghadiri acara itu barengan, padahal dia sedang perang dingin dengan suaminya itu. Kabayan sih kelihatannya senang-senang saja diajak Nyi Iteung datang ke acara itu. Asep Ridwan adalah saudara sepupu Nyi Iteung, jadi nggak mungkin kalau mereka sampai nggak datang, dan ikut bantu-bantu persiapan acaranya. Nyi Iteung bantu-bantu masak, dan Kabayan bantu-bantu motong kambing akikahnya.

Selama membantu masak, ibu-ibu ramai membicarakan nama anak Jang Asep dan Neng Lilis yang mereka sebut bagus, Diva Destiny Danuwiria. “Diva itu artinya dewi, Destiny itu takdir, dan Danuwiria itu nama trahnya Kang Asep. Jadi artinya Keturunan Danuwuria yang ditakdirkan jadi dewi...” jelas Neng Lilis waktu ditanya arti nama anaknya. Ibu-ibu manggut-manggut, “Bagus yah, namanya cantik, pasti nantinya cantik seperti ibunya...” komentar Bi Oyoh yang sedang membantu mengupas bawang merah. “Iya, nama anak sekarang mah bagus-baguas, panjang-panjang, tapi susah nyebutnya...” timpal Bi Edah, “Dulu mah nama anak pendek dan gampang, Bi Oyoh namanya Oyoh sa-Oyoh-oyoh-nya, saya Edah sa edah-edah-nya, Iteung sa-iteung-iteung-nya...” sambungnya diselingi tawa. Yang lain ikut mesem, termasuk Iteung.

“Kata Ustad Iding, nama itu doa orangtuanya, jadi namanya harus bagus...” kata Neng Lilis lagi. “Makanya banyak yang ngasih nama anaknya dengan arti yang bagus, entah dari bahasa Arab, Sunda, atau bahasa apa saja, yang penting doanya bagus...” tambahnya. “Yaa memang harus begitu Neng, saya sendiri sampe sekarang nggak tau arti nama saya, doanya juga apa...” timpal Bi Oyoh. “Beda atuh Bi, dulu mah orangtua nggak selalu ngasih nama berdasarkan doa, tapi ada juga yang ngasih nama berdasarkan tetengger (tanda) saat kelahirannya. Misalnya anaknya lahir waktu hujan gede dan ada guntur, anaknya dinamai si Guntur. Suaminya si Iteung, Kabayan, mungkin dikasih nama begitu karena lahirnya kababayan (kebelet, prematur)...” timpal Bi Edah sambil melirik Iteung yang asyik memotong-motong kentang. Iteung hanya tersenyum.

“Tapi bener juga sih, nama orang-orang dulu juga banyak yang diberikan orangtuanya sebagai doa, tapi beda ngambilnya. Kalau sekarang diambil dari bahasa-bahasa luar, dulu mah diambil dari nama-nama yang ada di sekitar...” sambung Bi Edah, “Jaman dulu, anak-anak banyak yang dikasih nama hewan, bukan berarti doanya biar anaknya seperti hewan, tapi biar mengambil sifa baik dari hewan itu...” tambahnya. Neng Lilis melirik, “Masak sih nama anak diambil dari nama hewan, kasian banget anaknya atuh Bi...” katanya. “Ya enggak lah, misalnya anaknya dikasih nama Mundinglaya Dikusumah, itu biar anaknya kuat seperti munding (kerbau), Ciung Wanara (burung dan kera) biar anaknya seindah burung Ciung dan selincah wanara. Di tempat lain juga banyak yang begitu, Gajahmada, Hayam Wuruk, Mahesa Jenar...” jawabnya.

Neng Lilis mengangguk-angguk, “Tapi saya mah nggak tega kalo nama anak saya seperti itu takut malah diledekin teman-temannya,” katanya. “Memangnya nama anaknya diambil dari mana Neng?” tanya Bi Oyoh. Neng Lilis tersenyum, “Kang Asep nyari namanya di internet, di gugel (google), nemu deh nama itu...” jawabnya. Bi Oyoh dan Bi Edah ber-ooh. “Kirain yang ngasih nama kakeknya, ternyata internet toh? Sekarang mah banyak sumber yah, jadi nama anak bisa macem-macem...” sambung Bi Edah lagi, “Anak majikan suami sayah di Bandung, namanya diambil dari nama-nama artis sinetron di tipi. Yang pertama namanya Bella Saphira, yang kedua Teuku Wisnu, yang bungsu yang baru lahir dikasih nama Cheribelle...” katanya.

Neng Lilis dan Bi Oyoh tertawa, “Tapi itu kan doa juga, biar anaknya nanti seperti artis-artis itu...” kata Bi Oyoh. “Iya sih, tapi kok nggak dikasih nama Julia Perez atau Dewi Perssik sekalian?” timpal Neng Lilis sambil tertawa. “Waah kalau itu sih saya juga mikir, takut salah doa...” kata Bi Edah lagi. “Ya bagus sih dikasih nama-nama seperti itu, tapi lama kelamaan nama anak-anak itu jadi seragam, nggak ketauan asal-usulnya. Coba dulu, namanya Asep dan Ujang pasti orang Sunda, Joko sama Sugeng pasti orang Jawa, Teuku dan Cut pasti orang Aceh. Tapi sekarang, pabeulit, namanya Inggris, begitu dilihat orangnya hideung lestreng (hitam legam)..” kata Bi Oyoh masih sambil ketawa.

“Makanya, kata orang tua dulu, nama anak itu boleh saja bagus tapi jangan terlalu bagus, bisa-bisa memberati anaknya. Anaknya dikasih nama Arjuna, tapi wajahnya teu pararuguh (nggak jelas) kan kasihan anaknya, bisa-bisa tambah diledekin temennya...” kata Bi Edah lagi. “Iyah, nama itu juga jadi tanggungjawab orangtua untuk mewujudkannya, bukan sekadar doa. Dikasih nama Muhammad Nurdin itu artinya orang tua harus mendidik anaknya supaya sifatnya seperti nabi dan bisa memberi cahaya bagi sesamanya. Jangan sampe nama anak dengan kelakuannya berbanding terbalik karena orangtuanya gagal mendidiknya!” sambung Bi Oyoh.

Obrolan makin lama makin seru dan kemana-mana, sampai akhirnya, Bi Oyoh melirik pada Iteung. “Jadi nanti kalau kamu punya anak, mau dikasih nama siapa Teung?” tanyanya. Iteung kaget ditanya seperti itu, jangankan kepikiran memberi nama anak, ia saja sekarang lagi berantem sama suaminya itu. Iteung menjawab dengan senyum, “Yaah saya berdoa biar punya anak dulu, soal namanya nanti biar Kang Kabayan yang nyari...” jawab Iteung.

Selepas obrolan itu, Iteung mencari Kabayan, ia menemukan suaminya sedang mencuci jeroan kambing, “Kang, nanti malem habis acara, pulangnya bareng ya, saya mau pulang ke rumah, nggak ke rumah Abah lagi...” kata Iteung malu-malu. Kabayan bengong, lalu nyengir “Siap Teung, berarti sayah siap-siap makan daging kambing dulu yang banyak ya?” tanyanya sambil cengengesan. Iteung melengos, tapi pipinya memerah.

Jogja, 27 Pebruari 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun