Saya nyaris tak ingat, kapan terakhir kalinya serius menonton sinetron hingga harus menunggu setiap episodenya tayang. Sejak stasiun TV swasta mengudara, sinetron yang saya tonton serius masih bisa dihitung jari, sebut saja Si Doel Anak Sekolahan, Bajaj Bajuri, dan Para Pencari Tuhan (PPT). Untuk Si Doel, rasanya saya khatam menonton, selain ditunggui, juga karena belakangan sering ditayangkan ulang. Bajaj Bajuri, sering tapi tidak khatam karena ceritanya tidak menuntut kita untuk nonton terus, alias ceritanya selesai dalam satu episode. PPT cukup sering saya tonton setiap bulan Ramadhan, meski juga nggak khatam, karena disiarkan pas sahur dan buka puasa.
Sekarang, saya kembali menjadi penggemar sinetron. Tapi hanya satu yang saya tunggu penayangannya, yaitu Preman Pensiun (PP) di RCTI. Sejak tayang pertama 12 Januari 2015, saya rajin mengikutinya. Kalau bolong, saya berusaha mencari rekamannya yang diunggah di situs Youtube. Ada banyak alasan yang membuat saya ketagihan untuk terus mengikuti jalan ceritanya, diantaranya;
Pertama, alur cerita yang menarik. Selama ini, tokoh preman sangat sering muncul dalam sinetron kita, tapi tak pernah menjadi tokoh utama. Tokoh preman selalu berada di sisi hitam, karena umumnya cerita sinetron kita selalu hitam-putih, tokoh jahat selalu digambarkan sangat jahat, dan tokoh baik digambarkan sangat baik. Di PP, tokoh preman mengkudeta tokoh protagonis yang selama ini dikuasai orang-orang baik. PP mengangkat realitas yang ada di dekat kita, tapi nyaris tak pernah diperhatikan, yaitu soal premanisme dan dunia kriminal. Tapi di PP, keduanya tak ditampilkan dalam wajah aslinya yang menyeramkan, sebaliknya, lucu abis!
Kedua, penokohan yang kuat. Tokoh-tokoh dalam PP memiliki karakter yang kuat. Kang Bahar (Didi Petet), pemimpin preman yang tenang tapi tetap garang dan sedang belajar tobat sejak istrinya meninggal. Muslihat (Epy Kusnandar), anak buah Kang Bahar yang patuh tapi menyimpan ambisi. Komar (Mat Drajat) preman penguasa pasar yang tampangnya sangar tapi agak kemayu. Ubed (Ucup Palentin), copet bertampang culun yang sedang belajar tobat. Dan lain sebagainya. Memang tidak semua diperankan dengan kuat, sebagian akting para pemainnya masih terlihat kaku dan agak dibuat-buat. Untuk hal ini, bisa dimaklumi, nyaris seluruh pemeran di PP adalah muka baru. Hanya dua jangkar utama yang dipasang dengan status bintang, yakni Didi Petet dan Epy Kusnandar. Lainnya, semuanya bisa dikatakan muka baru.
Ketiga, setting yang khas. Selama ini sinetron Indonesia, selalu mengambil lokasi di Jakarta (kecuali FTV yang biasanya nyasar ke Bali dan Jogja). PP berlokasi di Bandung lengkap dengan menampilkan berbagai lanskap Bandung yang khas seperti Jembatan Pasopati hingga Gedung Sate dan sebagainya. Makanan khas Bandung juga rajin muncul jadi selingan, seperti wajit cililin, cilok, hingga kue balok Garut. Logat Sunda yang ditampilkan para pemerannya sangat kental, bisa jadi karena castingnya yang cermat. Selama ini, banyak sinetron dengan latar Tanah Pasundan sering menggunakan logat yang dipaksakan sehingga terdengar aneh. Tapi di PP, logatnya Sunda pisan! Tampilan setting juga diperkuat ilustrasi musik yang khas Tanah Pasundan, angklung hingga kecapi-suling.
Untuk semua itu, saya ingin angkat topi buat penulis dan sutradara PP, Aris Nugraha, yang kalau tidak salah, juga yang membesut Bajaj Bajuri. Karenanya, tak heran, gaya komedi dengan potongan adegan pendek-pendek masih terasa di PP. Sebagai orang Sunda di perantauan, menonton sinetron ini mengembalikan ingatan kepada suasana kampung halaman, terutama Bandung. Tapi ada beberapa catatan yang perlu dikemukakan, anggap saja sebagai saran dan kritik pada sinetron ini agar lebih baik di episode berikutnya.
Pertama, hati-hati dalam mengembangkan cerita ke depan (episode-episode berikutnya). Untuk urusan cerita, saya berharap Aris Nugraha tidak terjebak dalam tuntutan pasar. Seperti biasanya, sinetron di Indonesia, di episode-episode awal punya kekuatan cerita, plotnya jelas. Tapi setelah kesuksesan menghampiri, kemudian permintaan stasiun TV untuk tayang terus, penulis cerita menyerah dan harus mengikuti keinginan ‘pasar,’ apalagi jika kemudian harus dikerjakan dengan sistem kejar tayang, dikerjakan pagi sore tayang. 36 episode pertama PP masih berlum terkontaminasi, masih sangat terlihat berdasarkan ide awal penulis, tapi entahlah dengan episode berikutnya dalam PP2 yang mungkin sedang digarap sehingga PP harus break dan diisi dengan tayang ulang. Semoga PP tetap sesuai dengan keinginan penulisnya. Saya berharap, Aris Nugraha mau menolak tawaran kejar tayang, biarlah jika episodenya habis dan produksi belum selesai, penonton diberi waktu untuk menunggu, karena menunggu itu bikin kangen, seperti orang pacaran, jangan ketemu tiap hari terus, lama-lama bosan...
Kedua, tema premanisme memang jarang diangkat, apalagi dijadikan tema utama dengan pemeran utamanya ‘preman’ semua. Sejauh ini, penulis masih berhasil menjaga jarak dengan teguran KPI. Dunia preman yang biasanya dekat dengan rokok dan minuman keras, tak tampak di sinetron ini. Premannya hanya doyan ngopi saja. Adegan kekerasan yang juga lekat dengan dunia preman, hampir tak pernah muncul secara eksplisit dalam visual. Satu-dua kali memang bocor, misalnya adegan Muslihat menjambak rambut anak buahnya –untungnya diblur pas ditayangkan. Kekerasan verbal (penggunaan kalimat kasar) sejauh ini masih bisa dijaga dengan istilah-istilah yang dimunculkan, misalnya ‘olahraga’ untuk menggantikan kata ‘pengeroyokan’ dan sebagainya.
Ketiga, ada kekhawatiran yang muncul tentang fandom. Fandom, dalam komunikasi adalah kecenderungan khalayak media untuk mengikuti atau meniru apa yang ditampilkan dalam media (film, cerita, tokoh, selebriti, dan sebagainya). Peniruan ini bisa berupa tampilan fisik seperti pakaian, gaya rambut, gaya bahasa dan lain-lain, atau peniruan karakter. Yang terakhir itulah yang harus diwaspadai. Konon, di daratan Tiongkok sana, anak mudanya sempat banyak yang bercita-cita jadi penjudi setelah kesuksesan film God of Gambler. Atau kasus yang parah terjadi beberapa tahun yang lalu di neggeri kita saat tayangan Smackdown muncul di layar kaca. Sebetulnya, untuk PP, saya tidak terlalu khawatir selama konsep awalnya tidak banyak bergeser. Saya yakin, tidak ada anak muda kita yang kemudian bercita-cita jadi preman gara-gara nonton sinetron ini, apalagi tokoh premannya tak ada yang ‘keren.’ Siapa pula yang pengen jadi preman kayak Kang Komar atau jadi copet kayak si Ubed yang tampangnya culun begitu? Tapi, penulisnya tetap harus waspada biar tidak berbelok arah..
Sebetulnya, masih banyak yang pengen dibahas dari sinetron ini karena tumben-tumbennya saya bersemangat nulis soal sinetron kita. Tapi cukup dulu lah, mudah-mudahan PP2 yang ditunggu-tunggu tidak mengecewakan seperti yang saya khawatirkan tadi. Mudah-mudahan PP2 tidak harus berurusan dengan KPI karena kurang berhati-hati dengan temanya yang sensitif ini. Mudah-mudahan, bukan hanya PP saja yang tayang di televisi kita engan mengangkat tema yang tak mainstream ini. Siapa tahu besok kita bisa menonton sinetron bersetting Makassar, Aceh, Dayak, Bali, Papua dan sebagainya dengan kekhasan masing-masing, bukan sinetron ala barat yang tak masuk akal....
Jogja, 280215