Pengguna sekarang, malas membaca berita yang isinya panjang, suka yang instan, dan mudah mengambil kesimpulan. Lalu akhirnya, berita yang didapat, hanya berupa "potongan" atau cuplikan video, yang memang, ada yang mempengaruhi pembaca supaya mendukung. Dan mengambil kesimpulan dari peristiwa tersebut.
Demikian, sehingga masyarakat sangat mudah terprovokasi, "dijajah" hati nuraninya, untuk ikut mengaburkan nilai kebaikan, mengutamakan sesuatu yang dalam kondisi ketidakpastian, dan mengajak yang lain untuk meng-amini. Akan semakin tersebarlah berita yang tidak jelas ke pembaca.
Sinan Aral, profesor media dari Massachussetts Institute of Technology, dalam penelitiannya menemukan fakta mengejutkan bahwa ternyata kebohongan di media sosial lebih mudah, lebih luas, dan lebih cepat menyebar disbanding kebenaran (2018). Medhy Aginta Hidayat, dari Universitas Trunojoyo Madura mengatakan, karakter media sosial yang mudah diakses, berdaya jangkau luas dan interaktif, menggoda siapapun untuk memanfaatkannya sebagai media penyebar informasi yang belum pasti.
Pengguna media sosial sekarang ini juga tampak berkelompok-kelompok, apalagi sejak Pilpres beberapa waktu lalu. Informasi yang disampaikan oleh teman dekat atau kelompoknya cenderung lebih dipercaya. Lebih mudah bagi mereka untuk menyebar melalui ruang-ruang privat media sosial. Kondisi ini memunculkan apa yang disebut filter bubble, dimana mereka cenderung hidup dalam gelembung keyakinannya sendiri. Akibatnya, Â banyak yang kehilangan akal sehat, dan terjadilah polarisasi masyarakat dalam realitas sosial.
Terjebak Spekulasi atau Investasi
Kalau penulis kaitkan dengan dunia ekonomi, maka tulisan saat ini ada yang berjenis tulisan spekulasi , adapula tulisan investasi. Spekulasi dalam istilah KBBI adalah pendapat atau dugaan yang tidak berdasarkan kenyataan, tindakan yang bersifat untung-untungan. Sementara investasi adalah penanaman modal untuk mendapatkan keuntungan.
Tulisan spekulasi, banyak mewarnai media sosial, dan cenderung menghilangkan daya kritis seseorang. Pembaca akan terjebak dalam pusaran kata yang dirangkai tanpa diketahui atau belum diakui kebenarannya. Bahkan, akan cenderung melakukan kebohongan. Joseph Goebbel, Menteri Propaganda pada era Nazi Jerman, mengatakan: Sebarkan kebohongan secara berulang-ulang kepada public. Kebohongan yang berulang-ulang akan diterima sebagai kebenaran.
Mereka ini, penulis menyebut mereka sebagai buzzer, akun-akun di media sosial yang tak memiliki reputasi untuk dipertaruhkan, hanya nama tapi tanpa tahu pemilik aslinya. Ingat kasus, kue klepon yang lebih Islami. Di situ tertulis nama akun, tapi setelah diselidiki tidak jelas siapa pemiliknya. Buzzer ini ada yang sengaja dibayar, ada juga yang sukarelawan. Tindakan dari kelompok ini adalah sifatnya untung-untungan. Mereka merasa menang kalau apa yang mereka populerkan dianggap sebagai kebenaran, tapi juga tidak merasa rugi kalau kebenaran mereka ditolak.
Sementara tulisan investasi, adalah tulisan yang memberikan modal untuk mendapatkan keuntungan berupa manfaat buat pembaca. Bukan sekadar opini, sikap (menggaris bawahi sikap setuju atau tidak setuju), atau mendeskripsikan masalah, tapi lebih pada mencari akar permasalahan, melakukan analisis, memberikan perspektif, dan bahkan memberikan solusi yang baik.
Tulisan investasi, akan membantu membatasi penyebaran tulisan spekulasi, mengekalkan batas antara kebenaran dan kebohongan. Pengguna bisa membedakan antara fakta dan opini, data atau gosip, dan kebenaran atau fitnah. Penulis investasi ini diharapkan membuat informasi jadi jernih, dan diterima akal sehat.
Pramoedya Ananta Toer mengatakan "menulis adalah bekerja untuk keabadian". Maka selagi masih ada waktu, mari kita meninggalkan jejak dengan karya yang bermanfaat, bukan terjebak dalam media penyebar kemudharatan. Hasil karya kita akan diwariskan kepada generasi penerus, dan nama kita pun tidak hilang dari peradaban. *