Mohon tunggu...
Alipir Budiman
Alipir Budiman Mohon Tunggu... Guru - hanya ingin menuliskannya

Bekerja sebagai pendidik di MTs Negeri 1 Banjar (dahulu namanya MTs Negeri 2 Gambut) Kabupaten Banjar, Kalsel. Prinsip saya: Long Life Education. Gak pandang tuanya, yang penting masih mau belajar, menimba ilmu. Gak peduli siapa gurunya, yang penting bisa memberi manfaat dan kebaikan...

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

5 Tahun Investasi, Untung atau Buntung?

10 April 2020   09:23 Diperbarui: 10 April 2020   09:27 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya bersama Aab Abdullah (tengah) penerima MOST Award 2017 dan Rico Bayu (kiri) penerima MOST Award 2020

Sekarang, kita hitung saham yang sudah diinvestasikan selama 5 tahun. Atau kalau tidak dihitung, lihat saja portofolio di akun masing-masing. Apakah berwarna biru, yang menandakan sahamnya lebih tinggi dari harga beli? Ataukah berwarna merah, yang menunjukkan harga saham terakhirnya lebih rendah dari harga beli?

 Ambil saja contoh saham yang bagus, yang selalu direkomendasikan oleh sekuritas mana saja untuk berinvestasi, yakni Bank BRI (BBRI), Bank BCA (BBCA), Unilever Indonesia (UNVR), dan Telkom Indonesia (TLKM).

BBRI misalnya kita beli tanggal 2 Januari 2015 di harga Rp. 2.380/lembar saham (atau Rp. 238.000/lot). Saham ini mengalami kenaikan tertingi pada tanggal 25 Februari 2020 dengan harga Rp. 4.500/lembar (Rp. 450.000/lot). 

Kemudian terjun bebas hingga tanggal 24 Maret 2020 bertengger di harga Rp. 2.440/lembar (Rp. 244.000/lot). Kalau kita hitung dari harga tersebut dikurangi dengan harga beli, maka selisih yang kita dapatkan sampai tanggal 24 Maret  itu adalah Rp. 60 per lembar. Artinya, keuntungan kita naik 2,5% dari modal kita sejak 2015.

BBCA misalnya kita beli tanggal 2 Januari 2015 di harga Rp. 13.025/lembar saham (atau Rp. 1.302.500/lot). Saham ini mengalami kenaikan tertinggi pada tanggal 25 Februari 2020 dengan harga Rp. 32.650/lembar (Rp. 3.265.000/lot). 

Kemudian terjun bebas hingga tanggal 23 Maret 2020 bertengger di harga Rp. 22.150/lembar (Rp. 2.215.000/lot). Kalau kita hitung dari harga tersebut dikurangi dengan harga beli, maka selisih yang kita dapatkan sampai tanggal 23 Maret  itu adalah Rp. 9.125 per lembar. Artinya, keuntungan yang kita peroleh naik 70% dari modal kita sejak 2015.

TLKM misalnya kita beli tanggal 2 Januari 2015 di harga Rp. 2.860/lembar saham (atau Rp. 286.000/lot). Pada  tanggal 24 Maret 2020 bertengger di harga Rp. 2.620/lembar (Rp. 262.000/lot). 

Kalau kita hitung dari harga tersebut dikurangi dengan harga beli, maka selisih yang kita dapatkan sampai tanggal 24 Maret  itu adalah ( -  Rp. 240) per lembar. Artinya, kita menderita rugi dan saham turun - 8,39% dari modal kita sejak 2015.

UNVR misalnya kita beli tanggal 2 Januari 2015 di harga Rp. 32.525/lembar saham (atau Rp. 3.252.500/lot). UNVR mengalami kenaikan harga tertinggi tanggal 29 Desember 2017 dengan harga Rp. 55.900/lembar. 

Kemudian tanggal 3 Januari 2020 melakukan stock split 1 : 5, artinya 1 lembar saham lama dipecah menjadi 5 lembar saham baru. Waktu itu harganya Rp. 38.825/lembar dipecah menjadi 5 lembar dengan harga Rp. 7.765 perlembar yang baru. Pada  tanggal 24 Maret 2020 bertengger di harga Rp. 5.575/lembar (kalau di harga lama menjadi Rp. 27.875).

Kalau kita hitung dari harga tersebut dikurangi dengan harga beli, maka selisih yang kita dapatkan sampai tanggal 24 Maret  itu adalah ( -  Rp. 4.630 untuk harga lama) atau --Rp. 930 per lembar untuk harga baru. Artinya, kita menderita kerugian dan saham kita turun -14,3% dari modal kita sejak 2015.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun