Mohon tunggu...
Alipir Budiman
Alipir Budiman Mohon Tunggu... Guru - hanya ingin menuliskannya

Bekerja sebagai pendidik di MTs Negeri 1 Banjar (dahulu namanya MTs Negeri 2 Gambut) Kabupaten Banjar, Kalsel. Prinsip saya: Long Life Education. Gak pandang tuanya, yang penting masih mau belajar, menimba ilmu. Gak peduli siapa gurunya, yang penting bisa memberi manfaat dan kebaikan...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memilih Sekolah Umum, Agama atau Pesantren?

7 Februari 2016   16:24 Diperbarui: 7 Februari 2016   16:38 2833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Santri Pondok Pesantren Darul Hijrah Putra Banjarbaru Kalsel | mediakalimantan.com"][/caption]Tahun pelajaran 2016/2017 akan segera tiba. Banyak persiapan yang dilakukan orangtua yang anaknya sudah duduk di bangku TK tahun kedua, yang sudah kelas 6 SD/MI, yang sudah kelas 9 SMP, atau anaknya yang sudah kelas 12 SMA. Selain dana, hal yang harus dipersiapkan juga adalah: kemana anaknya ingin melanjutkan pendidikannya?

Tak bisa dipungkiri, orangtua harus ikut memberi andil tentang kemana arah pendidikan sang anak. Memang, menjadi hak anak untuk memilih sekolah sesuai dengan bakat dan kemampuannya, tapi hak orangtua juga untuk memberikan pemahaman mengenai minat dan bakatnya, termasuk memberi pandangan tentang masa depan yang akan dihadapinya.

Memilih sekolah, tentu bukan hal yang mudah bagi anak maupun orangtua. Bagi golongan the have, tentu lebih memilih sekolah yang fasilitasnya lengkap, dengan harapan anaknya akan mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Ada juga yang menyekolahkan anaknya di sekolah biasa, karena berprinsip, bahwa kecerdasan itu terletak pada individu masing-masing.

Di Indonesia, ada tiga jenis sekolah yang tersedia: sekolah umum, sekolah agama, dan pesantren. Sekolah umum, yakni SD, SMP dan SMA. Sekolah agama yakni Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA). Sedang pesantren memadukan sekolah umum/sekolah agama plus dengan pendidikan pondok pesantren.Di SD, SMP, dan SMA, pendidikan agama hanya diperoleh 2 jam pelajaran selama seminggu, sedang di MI, MTs, dan MA, pendidikan agama dipecah lagi menjadi mata pelajaran Fikih, Akidah Akhlak, Qur’an Hadits, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab. Sementara untuk pondok pesantren, mereka memadukan kurikulum sekolah umum ditambah pelajaran agama yang lebih intens, bisa juga memadukan kurikulum sekolah agama ditambah dengan pelajaran agama yang intens, sehingga di Pondok Pesantren ada SMP/SMA, ada juga MTs/MA.

Kalau kita melihat pola kehidupan dewasa ini, dimana anak-anak sudah sangat manja dengan kemajuan teknologi, seperti gadget, HP, internet, maka ada kekhawatiran yang mendalam, jika mereka akan mudah terlena, terperdaya, bahkan terjerumus dalam arus globalisasi yang tak mampu dibendung. Arus informasi dan komunikasi sudah laksana air bah yang siap menghancurkan mereka. Sementara orangtua tak bisa berbuat apa-apa. Anak-anak sekarang sudah akrab dengan media sosial, seperti facebook, twitter, instagram, path, BBM, line, whatsapp, meetme, dan sebagainya. Orangtua jarang mengontrol isi HP anaknya, bahkan anaknya selalu memasang “security key” di HP-nya, sehingga orangtua tak bisa melihat-lihat isi HP anaknya. Sering ditemui di sekolah-sekolah pada saat sedang razia HP, ditemukan unduhan gambar dan video porno, bahkan foto-foto mesum dia dengan pacarnya.

Kenyataan inilah yang membuat orangtua, mau tidak mau, harus ikut memikirkan kemana arah pendidikan bagi anak yang sedang berada dalam masa pubertas, masa remaja, masa transisi ini. Nah, pondok pesantren mungkin tempat terbaik untuk menitipkan mereka selama masa remaja.

Alasan kenapa memilih pesantren?

Pertama, pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan umum, tapi juga pengetahuan agama yang lebih mendalam. Sementara untuk MTs/MA, pendidikan agamanya sudah 10 jam pelajaran perminggu, tapi sesudah pulang sekolah, mereka kembali ke rumah masing-masing. Sementara santri di pesantren harus mondok. Di sini mereka belajar kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.

Kedua, dampak negative dari arus globalisasi yang tengah melanda dunia juga bisa lebih dikontrol dan terlindungi. Pengawasan lebih ketat. Santri dilarang memiliki dan menggunakan HP, sementara TV hanya tersedia sewaktu-waktu. Memang tidak sepenuhnya menjamin bahwa santri akan terhindar dari arus globalisasi, tapi setidaknya dibanding dengan di sekolah non pesantren, mereka akan lebih baik.

Ketiga, pesantren melatih santri untuk hidup mandiri. Mereka akan bersosialisasi dan berinteraksi dengan teman-temannya dari berbagai daerah. Mereka terbiasa untuk melayani diri mereka sendiri, sehingga saat terjun ke tengah masyarakat, dia sudah terbiasa mandiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun