Setiap kali menghirup asapnya, udara sekelilingku menjadi semerbak harum. Aromanya semakin membiusku untuk terus mengingat dan menikmatinya. Banyak yang benci keberadaanya pada diriku bahkan sampai ngoceh dari sekata hingga seribu kata. Lebih-lebih paru-paru, organ kecilku. "Halo paru-paru," bisikku nada lembut, "maafkan aku. Aku sayang dia melebihi dari diriku. Aku juga sayang kamu. Dan, kamu akan tetap kusayang sekali pun terlihat gelap".
Banyak hal yang kukorbankan untuknya, termasuk paru-paru yang semakin hitam legam. Tak kusesali karna dia sungguh berarti. Sungguh dia yang kukasihi, kekasih gelapku, ASAP (ASupan APi). Saat pertama mengenalnya, sangat asing bagiku. Kala itu, dirinya tak semenarik yang sekarang. Mendekatinya saja adalah dosa berat untukku. Setelah dalam mengenalnya, semakin membuatku betah dan ingin terus bersama hingga menjadi salah satu ritual mistisku.
Mantra-mantra yang tak terucap terbisik di setiap tarikannya, membuatku terhanyut di alam bahagia yang amat dalam. Benar, sedalam dia menyiksaku untuk terus bersamanya. Â Setiap kali membuka mata, diriku langsung mengingatnya hingga bergegas mencari dan menikmatinya. Aku tahu, ini salah. Tetapi, "ini vitaminku, penyegar pikiranku, dan pemuas batinku".
Terkadang tekadku sebulat seperti batu, untuk berhenti bersamanya. Tak terhitung janji yang terucap, "aku akan meninggalkannya". Disaat bersamaan, malah diriku semakin dekat dengannya. Bisikannya yang lembut terus menghantuiku. "cuma diriku yang bisa mengerti kamu, tetaplah bersamaku". Aku terdiam hingga hatiku luluh dan kembali membelainya. Sesaat, asap-asap kembali mengepul perlahan, membelai wajahku.
Suatu waktu di dalam sebuah ruang tertutup, aku mengingatnya. Ruangan itu begitu ketat dan tanpa celah. Saking ketatnya, angin pun segan untuk masuk. Si kopi seorang sahabat, menghampiriku. Dia berkata, "Hallo sobat, buka matamu. Lihat disebelah sana ada cairan hitam. Itu bukan racun. Itu adalah cairan penyegar dan penyehat. Minumlah cairan itu. Aku yakin, itu bisa menenangkan pikiran untuk melupakan masalahmu".
Bergegas mengambil dan meminumnya, sesuai anjuran sahabatku itu. Namun, aku merasa ada yang kurang. Kutambahkan gula, malah rasanya semakin asin padahal itu benar-benar pemanis. Berniat menambah lagi, tetapi sahabatku mengingatkanku lagi. "cukup, nanti sakit. Masa paru-paru sudah sakit nambah sakit jantung". Aku berhenti dan mengajak sahabatku itu keluar ruangan sebentar.
Awalnya dia menolak. Namun, setelah kubujuk akhirnya dia mau. Kataku, "ayo kita keluar, nanti aku traktir". Sebelum mengiyakan, sahabatku itu berkata, "sudahi saja hubungan gelapmu itu". Jawabku, "Iya, nanti aja ngobrolnya. Ayo kita keluar dulu". Â Dari jauh, terlihat sang kekasih menungguku. Ternyata, dia sudah cukup lama menanti dan selalu memperhatikaku dari jauh. Saat mendengar ceritanya, aku tersenyum dan berkata, "Wahai, kekasihku, kau memang tak pernah mengecewakanku". Si kopi hanya terdiam, menyaksikan percakapan diriku dan kekasih gelapku itu.
"Apakah kamu masih berjuang mempertahankan kekasih gelapmu, atau kamu sudah siap meninggalkannya?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H