Sebagai seorang indigo yang bekerja sebagai guru honorer di pedalaman Kalimantan, aku tidak pernah membayangkan bahwa pengalamanku di sana akan sangat berbeda dari apa yang aku kira. Sekolah yang aku tempati mengajar terletak jauh dari pusat kota, dikelilingi oleh hutan lebat dan sungai-sungai besar. Meski suasana alamnya begitu asri, ada sesuatu yang tak kasatmata yang sering aku rasakan sejak hari pertama tiba.
Desas-desus tentang orang bunian sudah sering kudengar dari warga setempat. Mereka adalah makhluk halus yang tinggal di alam gaib, hidup bersebelahan dengan manusia, tetapi tak bisa dilihat oleh mata biasa. Orang-orang kampung sering menceritakan tentang kehilangan barang secara misterius, atau bahkan pertemuan mereka dengan orang-orang asing yang tiba-tiba menghilang di tengah hutan. Aku menganggap itu hanya cerita rakyat, hingga suatu malam aku merasakan sendiri kehadiran mereka.
Pada malam itu, setelah selesai mengajar dan beristirahat di pondok kecil yang disediakan oleh sekolah, aku terbangun karena suara gemericik air dan bisikan samar di luar jendela. Awalnya aku mengira itu hanya suara sungai yang tak jauh dari pondokku. Namun, bisikan itu semakin jelas, seperti ada banyak orang yang sedang berbicara. Rasa penasaran memaksaku bangun dari tempat tidur dan mengintip melalui jendela yang menghadap ke hutan.
Di sana, di tengah kabut tipis yang melayang-layang, kulihat sosok-sosok berwujud manusia berjalan dengan anggun. Mereka tampak seperti manusia biasa, namun ada sesuatu yang aneh. Wajah mereka begitu tenang dan halus, hampir tanpa ekspresi, dan mereka memakai pakaian tradisional yang tak pernah kulihat sebelumnya. Mereka berjalan tanpa suara, seolah-olah melayang di atas tanah.
Tiba-tiba, salah satu dari mereka menoleh padaku. Meskipun jendela pondok masih tertutup, aku bisa merasakan tatapan mereka, dingin dan menusuk. Jantungku berdegup kencang, dan saat itu aku menyadari bahwa mereka bukan manusia. Mereka adalah orang bunian.
Keesokan harinya, aku bertanya kepada kepala sekolah tentang pengalaman itu. Dia hanya tersenyum dan berkata bahwa orang bunian memang sering melintas di sekitar hutan, terutama di malam hari. Dia memperingatkanku untuk tidak berinteraksi atau mengikuti mereka, karena konon katanya, siapa pun yang mencoba berkomunikasi dengan mereka akan tersesat dan tidak akan bisa kembali.
Sejak saat itu, aku sering merasakan kehadiran mereka di sekitarku. Terkadang mereka hanya sekedar lewat, namun ada kalanya aku merasa mereka memperhatikan setiap gerak-gerikku. Pengalaman ini membuatku semakin berhati-hati, tetapi juga lebih menghargai keberadaan dunia lain yang tak terlihat oleh banyak orang.
Mengajar di pedalaman Kalimantan bukan hanya soal mendidik anak-anak di sana, tapi juga soal menjaga keseimbangan antara dunia yang nyata dan yang tak kasatmata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H