Tapi, saat dia melihat teras yang kosong, wajahnya langsung berubah. "Mana... mana anak kecil itu?"
Kami saling berpandangan lagi. "Nggak ada anak kecil, To," kataku akhirnya. "Cuma kita berlima dari tadi."
Wajah Dito langsung pucat pasi. Dia menatap ke dalam rumah yang sekarang gelap dan kosong, dan tiba-tiba dia berteriak, "Kita pergi dari sini, sekarang!"
Kami pun berlari meninggalkan rumah itu. Sampai sekarang, kami nggak pernah benar-benar tahu siapa anak kecil itu, atau apa yang dia inginkan. Rumah Dito akhirnya dijual, dan keluarganya pindah. Tapi yang paling aneh, setiap kali kami bertemu lagi dan mengingat kejadian itu, kami selalu tertawa, meskipun rasanya masih merinding.
Karena ya... siapa yang nyangka, main petak umpet bisa jadi sehoror itu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H