"Pokoknya Ibu Alya harus lihat pertandingan kami petang nanti," ujar Totti alias Arman, saat mengantarku ke ruangan guru usai mengajar bahasa Inggris di kelasnya, kelas 3-E. Di tangannya tertumpuk buku tugas milik teman-temannya yang akan kuperiksa nanti di ruang guru.
"Lho, kenapa? Tanpa kehadiran Ibu pun pertandingan tetap akan terlaksana, kan?" ucapku kalem. Sekilas kulihat gurat kekecewaan di wajahnya.
"Masa Ibu tak ingin melihat kami tanding? Ini sudah partai final lho, Bu." Totti tetap bersikeras. Dan aku hanya bergeming.
Ah, maafkan Ibu, Totti. Bukannya Ibu yang ingin menonton kamu dan teman-temanmu bertanding. Tapi kamu tahu sendiri, kan, alasannya? batinku memberontak.
"Ya, sudah. Pokoknya Ibu harus datang. Saya usahakan untuk pinjam sepeda motor Abak untuk jemput Ibu Alya nanti sore."
Akhirnya Totti mengambil keputusannya sendiri, tanpa mempedulikan apakah aku bersedia atau tidak. Setelah meletakkan tumpukan buku tugas di atas meja kerjaku, ia pun berlalu dan kembali ke kelasnya.
***
Kesendirian menemaniku siang ini. Ruang guru tampak sepi. Jam istirahat belum berbunyi. Niat awal hendak memeriksa buku tugas kelas 3-E pun hanya tinggal niat. Yang ada saat ini aku hanya melamun tak jelas tentang asal mula aku bisa berada di sebuah nagari yang bila ditelusuri di peta pun tak akan tampak wujudnya.
Ya, sudah dua pekan lebih aku di sini. Dan itu artinya masih ada waktu sekitar sebulan lebih empat belas hari lagi bagiku untuk terus beradaptasi dengan lingkungan yang tak pernah kubayangkan sama sekali.
Aku sungguh tidak siap, Tuhan. Tapi mengapa Engkau malah mendamparku ke tempat seperti ini? batinku menjerit.
Nagari Sariak Alahan Tigo. Saat membaca tulisan itu terpampang di papan pengumuman rektorat sebagai lokasi tempatku KKN (Kuliah Kerja Nyata), tak ayal membuat keningku pun berkerut. Terlebih setelah mendengar komentar Robi, teman satu jurusanku.