Usia dua  puluh dua tahun. Usia yang akan selalu kukenang sepanjang masa. Karena pada usia itu aku mengalami sebuah pergolakan hidup yang jauh berbeda dari sebelum aku memasuki usia dua puluh dua tahun. Istilahnya yaaa... itulah titik nadir dalam periode kehidupanku di dunia ini.
Diawali dengan lulusnya aku dari sebuah universitas negeri di kota Padang, yang hanya dihadiri kedua orangtuaku. Maklum, saat itu ayahku telah dimutasi ke kota Semarang, sehingga selama setahun itu aku telah menjelma menjadi anak kost yang mau tak mau harus hidup mandiri.
Selama sepekan pasca wisuda, aku terpaksa harus pontang-panting ke kampus untuk mengurus administrasi ijazah dan transkip nilai. Ya, orangtuaku yang pegawai kantoran tak memiliki waktu lama di Padang, karena mereka hanya meminta cuti dari kantor untuk menghadiri wisudaku. Selain itu, Ayah pun kemudian memintaku untuk turut serta ke Semarang. Kalau boleh jujur, hati kecilku sebenarnya masih merasa betah di Padang dan bermaksud mencari kerja di sana. Tapi demi baktiku kepada orangtua, akhirnya terpaksa kulepaskan semua impianku di Padang dan ikut pindah ke Semarang. Dan dari sanalah kisah awal perubahan hidupku secara drastis.
Beberapa bulan berada di Semarang sungguh membuatku tak betah. Kota yang asing, pengangguran, ditambah tak memiliki teman, seringkali membuatku bosan di rumah. Kedua adikku sibuk dengan kuliahnya dan kedua orangtuaku pun sibuk bekerja, sehingga hanya aku saja yan berada di rumah dari pagi hingga sore, seorang diri pula. Dan penderitaanku semakin bertambah saat Idul Adha, ibuku merasakan badan sebelah kirinya tiba-tiba melemah. Mengangkat tubuhnya pun harus dipapah, apalagi berjalan. Tapi berhubung saat itu tanggal merah, Ibu telat dibawa ke dokter yang akhirnya membuat Ibu menjadi lumpuh sebelah.
Tak sampai di situ saja ternyata. Ibu yang menderita diabetes dari beberapa tahun silam, memiliki luka di telapak kaki kanannya yang kian hari kian membesar. Dan atas saran dari kakak ipar ibu, akhirnya Ibu dilarikan ke Rumah Sakit (RS).
Niat awal ke RS itu sih hanya sekadar ingin mengoperasi luka di kaki Ibu. Tapi oleh dokter disuruh opname sekaligus mengamputasi kaki yang ditumbuhi luka tersebut hingga ke lutut.
Syok, tentu saja. Tapi Ayah bersikeras tidak bersedia kaki Ibu diamputasi. Aku yang masih menganggur, akhirnya mendapat tugas menjaga Ibu di RS selama empat bulan, karena lukanya yang begitu parah harus mendapatkan perawatan ekstra. Ditambah kami tak menyetujui perihal amputasi, sehingga dokter harus ekstra keras melakukan beberapa operasi terhadap luka tersebut. Ya Allah, begitu berat cobaan ini bagi keluarga kami!
Empat bulan Ibu di RS, konsentrasi Ayah terpecah-pecah. Beliau sering bolos bekerja hanya untuk menjenguk dan mendengarkan arahan-arahan dokter terhadap luka dan penyakit-penyakit komplikasi yang menyerang Ibu. Karenanya di kantor, jabatan Ayah merosot ke bawah, demikian pula dengan posisi Ibu di kantornya. Sungguh aku sedih, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Tabungan ikut terkuras, namun bersyukur karena kami masih diberi kesempatan menempati rumah dinas dari kantor Ayah.
Empat bulan di RS, sebenarnya Ibu masih belum diperbolehkan pulang. Namun tabungan yang kian menipis dan aku masih menganggur, membuat kami mau tak mau harus membawa Ibu pulang ke rumah. Selain itu, hanya tinggal menghitung hari saja lebaran pun segera datang. Dan keluarga mana yang tak ingin melewatkan lebaran dengan berkumpul bersama keluarga di rumah? Demikian pula dengan keluargaku.
Dan pasca keluar dari RS, kesehatan Ibu bukannya membaik, tapi kian menurun saja. Ibu pun akhirnya terkena stroke dan bicaranya pun semakin tak jelas. Oleh kantornya, Ibu disuruh pensiun dini dan sejak saat itu hanya Ayahlah sebagai tulang punggung keluarga.
Ya Allah, di usia dua puluh dua tahun itulah aku mulai mengenal kehidupan yang sesungguhnya. Kehidupan yang ternyata memang keras dan tak mudah seperti yang selama ini kujalani.