[caption caption="Love at First Sight"][/caption]
2. Love at First Sight
Â
Pertengahan Tahun 1986
Siang ini Jakarta tampak begitu panas. Sinar matahari pada musim kemarau memang terlihat lebih garang dibandingkan di musim penghujan. Apalagi ini merupakan puncaknya musim panas, sehingga tak banyak orang yang akan tahan berlama-lama berada di luar rumah, bila tidak ada keperluan mendesak dan dianggap penting.
Demikian pula halnya dengan Girianto. Setelah pulang kerja, laki-laki berusia dua puluh tahun itu lebih memilih mendekam diri di dalam kamarnya sambil mendengarkan lagu-lagu favorit dari saluran radio kesayangan. Angin yang berhembus dari sebuah kipas angin yang terletak di atas meja belajar hampir saja membuat matanya terpejam. Dan bila bukan karena sebuah ketukan di pintu kamarnya, mungkin saat ini ia telah berselancar ke alam mimpi.
"Ya, siapa?" Girianto menjawab ketukan pintu itu dengan suara enggan.
"Hai, Giri! Sudah jam berapa ini? Apa kau tak jemput adikmu, heh?"
Suara Oma Bernie. Hoam, Girianto pun menguap. "Iya, Oma. Sebentar lagi. Baru juga jam tiga."
Setiap Selasa dan Sabtu adalah jadwal Girianto menjemput adik semata wayangnya dari tempat kursus tari. Dan itu selalu membuatnya bosan.
"Giri, adikmu itu selesai menari jam empat, kan? Perjalanan ke tempat kursus tari adikmu itu memakan waktu setengah jam, itu pun kalau lancar. Ini hari Sabtu. Lalu-lintas Jakarta pasti padat. Kalau kau tak berangkat sekarang, kapan pula kau sampainya? Kasihan Winda harus menunggumu lama di sana."