Mohon tunggu...
Alin You
Alin You Mohon Tunggu... Insinyur - Penyuka fiksi, khususnya cerpen dan novel.

PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) • Penulis Amatir • Penyuka Fiksi • Penikmat Kuliner • Red Lover Forever • Pecinta Kucing

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cerbung | The Office Boy [7]: Sebuah Pengakuan

25 April 2017   11:59 Diperbarui: 27 April 2017   03:00 1165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber Gambar: textgram with modified"][/caption]  TUJUH
Sebuah Pengakuan

Setelah urusan dengan Lidya beres, aku pun akhirnya memilih kembali ke ruang kerjaku alias ke pantry, karena ada hal penting yang ingin segera kubicarakan dengan Abdul. Tapi ternyata untung tak bisa diraih, malang tak bisa ditolak. Saat mengedarkan pandangan ke sekeliling pantry, most wanted person itu sama sekali tak terlihat batang hidungnya. Fuih.
“Abdul ke mana, Cup?” tanyaku pada Ucup, satu-satunya OB yang kutemui di pantry. Saat itu kulihat OB yang suka latah bila kaget itu tengah asyik menyeduh air panas ke dalam mie instan wadah cup.
“Eh, copot, copot,” kontan latahnya Ucup keluar saat mendengar suaraku. Sambil memegangi dada, ia pun menjawab dengan gaya kenes, “Ih, Bang Isal kok doyan amat, ya, ngagetin Ucup.” Bibirnya pun maju sekitar lima sentimeter.
Oke, fine. Sepertinya gue memang kudu ikhlas dipanggil Isal di sini, umpatku dalam hati. Tapi yang keluar hanyalah dengusan napasku.
“Memang siapa yang ngagetin elu, Cup?” Kutatap mata cowok gemulai itu. “Gue kan cuma tanya, Abdul ke mana? Lha, memang dasar elunya saja yang kagetan. Gitu saja pake latah,” sungutku seraya membuka kulkas dan menuangkan segelas air dingin yang berasal dari botol minuman yang sengaja kutaruh di sana pagi tadi.
Ucup langsung manyun. “Iya deh, Ucup yang salah.” Bocah satu ini memang lebih suka mengalah daripada terjadi keributan–apalagi untuk persoalan sepele seperti ini.
“Iya. Terus, Abdul-nya mana? Dari tadi gue tanya kok nggak dijawab-jawab, sih?” Nyaris hilang kesabaranku dibuatnya. Tapi bukan Ucup namanya kalau kelakuannya itu selalu bikin gemas orang yang melihatnya.
“Ih, sabar dikit kenapa sih, Bang?” ucapnya seraya asyik mengaduk-aduk mie instan cup-nya yang mulai mengembang.
“Ucup!”
Ucup pun kaget. “Eh iya, copot. Tadi Bang Dul pamit, katanya sih mau ke ruang pemberitaan. Mau bantu-bantu persiapan surprise party gitu deh buat Miss Diana.”
“Oh!”
Akhirnya hanya kata itu yang keluar dari mulutku dan membuat kening Ucup mengernyit.
“Hanya 'oh'?”
Tapi aku sama sekali tak peduli. Segera saja kutarik sebuah kursi di island dan menghempaskan pantatku di sana. Kemudian, pikiranku pun melayang-layang tak karuan.

***

“Pak Rohmaaan...,” teriakanku itu segera saja menggelegar seantero ruangan. Beberapa pasang mata menatapku tak suka, terutama Aldo.
“Apaan sih, Sal? Bisa nggak, nggak usah pakai teriak-teriak segala. Apalagi sama orang tua. Kualat, tahu.”
Aku hanya mendengus. Kemudian tatapanku beralih kepada sosok laki-laki paruh baya yang tengah berdiri ketakutan di seberang meja kerjaku ini.
“Maaf, Bang Fais. Bapak beneran lupa. Pan tadi ntu banyak pesenan. Jadinye, Bapak samain aje semuanye. Maaf, ye...,” ucap laki-laki berusia nyaris kepala lima itu dengan wajah ditekuk karena takut pada amarahku.
“Sudah berapa kali saya bilang, saya itu paling nggak suka sama kopi instan sachetan. Kenapa masih ngeyel juga, sih?”
“Faisal!” Aldo yang tak tahan melihat arogansiku itu akhirnya berdiri dan nyaris hendak menggamparku andai saja tak segera dicegah oleh Ronald. Cindy dan Daniel pun tak tinggal diam.
“Kalian ini apa-apaan, hah?” Cindy menatap garang ke arahku dan Aldo secara bergantian. “Umur kalian itu sudah pada mau kepala tiga, tapi kelakuan masih kayak anak SD saja.”
Aku langsung tak terima mendengar komentar Cindy itu. “Enak saja kaubilang anak SD. Itu si Bapak Tua di depanku itu biang keladinya. Sudahlah bangkotan dan pikun, masih pulo diterima kerjo di sini,” bahasa daerahku keluar sudah. Pun telunjukku tepat mengarah pada wajah Pak Rohman, OB senior di PT Triguna Jaya ini.
Astaghfirullah al adziim. Faisal, elu itu....” Kembali kulihat Aldo hendak melayangkan bogem mentah ke arahku, tapi langsung ditahan sama Daniel.
Sedangkan Pak Rohman sendiri–yang dianggap biang keladi olehku–langsung terduduk di lantai dengan kedua tangan mencoba menutupi wajahnya yang mulai dialiri air mata kepedihan.
“Sudah, Pak. Mending Pak Rohman balik saja, yuk, ke pantry. Biar masalah Faisal ini kami yang tangani.”
Dengan ekor mataku, kuperhatikan Cindy kemudian membimbing laki-laki paruh baya itu untuk berdiri dan mengantarkannya keluar dari ruangan kerja tim Five Star.
Selepas kepergian Pak Rohman, Aldo dan aku saling tatap dan mendengus. Kedua mata kami pun masih tampak memerah, menahan amarah yang membara. Perlahan kulihat Aldo mulai beranjak kembali ke meja kerjanya. Tapi sebelum pergi, telunjuk Aldo mengarah tepat ke depan wajahku.
“Camkan kata-kata gue ini, ya, Sal. Suatu hari nanti, dengar, gue pastikan elu bakal menerima karma dari apa yang telah lu perbuat kepada Pak Rohman ini. Lihat saja!”
Duar! Duar!
Jeger!
Langit pun seolah mengaminkan kata-kata Aldo itu.

***

Hah! Hah! Hah!
Seketika aku pun tersadar akan lamunanku sendiri. Merasakan peluh yang telah membanjiri hampir seluruh bajuku. Menggenggam tanganku yang lembab dan dingin. Dan wajahku? Apakah wajahku kini tampak memucat? Entahlah. Tak ada cermin di sekitarku.
Ya, Tuhan. Apakah ini karma buat gue?
Kuhembuskan napas berulangkali. Kemudian kuarahkan pandangan, menyapu seluruh sudut pantry. Eh, ke mana itu si Ucup bunga kuncup? Huh! Seenaknya pergi tanpa pamit. Dan baru saja aku hendak melangkahkan kaki menuju kulkas, kulihat pintu pantry terkuak dari luar.
“Lho, ntu... lu abis ngapain, Sal?” tanya seseorang yang baru saja masuk. Matanya langsung mengamati perubahan wajah dan peluh yang membasahi hampir seluruh bajuku.
“Oh, syukurlah elu datang, Dul.”
Segera kusambut dan kupeluk laki-laki berkepala plontos itu.
“Hei, hei. Mulai deh, lu.” Abdul yang risih karena kupeluk tiba-tiba itu pun mencoba melepaskan diri. Kemudian menatapku penuh curiga. “Elu... baik-baik aje kan, Sal?”
Aku menggeleng berulangkali.
“Kenape?” tanya Abdul penuh selidik.
Kuhela napas panjang. Kemudian menghembuskannya dalam sekali tarikan.
“Gue... gue mau minta maaf ke elu, Dul. Khususnya ke Encing lu.”
“Encing gue?” Kening Abdul sedikit berkerut. “Ade ape emangnya ame Cing Rohman?”
Kuhela napas pendek.
Ya, gue kudu siap dengan apapun reaksi Abdul nantinya.
Kemudian kutuntun Abdul untuk duduk di island. “Duduk sini saja, yuk, Dul. Biar enak ngobrolnya.” Kusinggungkan sebuah senyum, sekadar untuk menyamarkan perasaanku yang tak karuan.
Sejenak Abdul tampak ragu. Tapi kemudian ia pun menuruti keinginanku itu.

***

Fuih! Entahlah, apakah kini aku bisa bernapas lega ataukah malah sebaliknya, menyesali pengakuan yang kubuat itu? 
“Apa? Jadi elu ame Cing Rohman itu satu kantor? Ya, Tuhan....” Kuperhatihan Abdul yang tiba-tiba saja memegangi kepalanya. Ya, mungkin ia benar-benar kaget dan tidak percaya dengan semua penjelasanku barusan. “Kagak nyangka gue, kalo elu bisa setega itu ame Cing Rohman. Belagu amat lu jadi orang. Emang ape sih jabatan lu di Triguna Jaya ntu, hah?”
Aku hanya diam. Menundukkan kepala dan tak berani menatap lawan bicaraku. Terpekur, tak lagi mampu menangkis semua emosi yang diluapkan Abdul saat ini. Dan hanya bisa pasrah menerima nasib atas apapun reaksi Abdul setelah pengakuan ini kubuat.
“Oke. Sekarang semua terserah elu dah. Apapun yang akan lu lakukan, gue udeh kagak peduli lagi. Karena elu itu udeh dewasa. Fine.” Kudengar kursi di sebelahku itu mulai didorong ke belakang. “Oke, mending mulai sekarang kite urus aje urusan masing-masing. Deal?”

Dan usai mengucapkan kata-kata tersebut, kulihat Abdul keluar pantry–entah ke mana–dan tidak kembali lagi hingga bel tanda pulang berbunyi. Meninggalkanku yang kian dihinggapi rasa bersalah, baik kepada OB Betawi itu, apalagi terhadap Pak Rohman–encingnya.
Akhirnya, inilah konsekuensi yang harus kuterima setelah semua yang pernah kuperbuat terhadap Pak Rohman, OB senior di PT Triguna Jaya sekaligus encing dari sahabat terbaikku di Paramount TV.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun