***
TIGA
Aku Sekarat?
Kembali aku tercengang. Memandang ke sekeliling ruangan yang dinding-dindingnya bercat putih bersih dan bergorden hijau tua sebagai pembatas entah apa yang ada di sebelah. Di depanku terletak sebuah ranjang elektrik yang biasa kulihat di rumah sakit, lengkap dengan alat elektrokardiograf (EKG) yang terpasang di sisi kiri ranjang. Suara tik tik tik yang berasal dari alat EKG tersebut terdengar jelas di telingaku. Pun saat kulirik sekilas ke arah layar monitornya. Kurva elektrokardiogram yang masih bergerak turun-naik menandakan bahwa si pasien yang terbaring di ranjang itu masih hidup, meskipun secara pandangan mata ia terlihat tengah koma atau tak sadarkan diri.
Fuih! Kuhela napas panjang.
Jadi gue ini ada di rumah sakit? Tapi..., siapa itu yang terbaring di ranjang?
Rasa penasaran menyergapku. Tapi belum sempat tanya itu terjawab, terdengar derap langkah kaki memasuki ruangan.
“Gimana kondisi terkini dari abang saya, Suster?”
Tampak seorang gadis berusia dua puluhan tahun, berjilbab hijau toska dan mengenakan jubah biru dongker khas ruang ICU (Intensive Care Unit) beserta seorang perawat berjalan mendekati pembaringan.
Hah? Itu bukannya Fera?