Ini adalah Jumat terakhirku berada di Karawang, tepatnya di sebuah desa yang selama hampir dua pekan ini banyak memberikan kejutan serta pengalaman hidup yang baru buatku. Aku yang selama ini termasuk makhluk antisosial, perlahan mulai dibukakan hatinya untuk melihat dunia lebih luas lagi. Bahkan, di tempat ini jualah aku kembali merasakan benih-benih cinta yang selama lima tahun ini sengaja dikubur dalam-dalam pasca kepergian Lidya untuk selama-lamanya.
Ya, waktu dua minggu yang awalnya kupikir akan membosankan, berubah seratus delapan puluh derajat. Bahkan kini, aku seakan enggan cabut dan kembali ke ibukota seandainya tak ingat akan karirku di sana.
"Angkat tangan!"
Tiba-tiba saja sebuah tangan membentuk pistol-pistolan mengarah padaku. Membuatku kaget dan langsung ilfil setelah mengetahui siapa pelakunya.
"Akbar, iseng banget sih kamu," sungutku sambil berkacak pinggang. Tapi sang pelaku malah tertawa terbahak-bahak.
"Gak lucu, tau!"
"Abis Om Noval ngelamun aja dari tadi." Akbar membela dirinya. Kemudian mengambil duduk di sebelahku."Om, kata Nek Isah tadi, hari Minggu ini Om Noval mo balik ke Jakarta lagi ya?"
Aku mengernyit. Ada apa nih bocah tiba-tiba bertanya begitu?
"Iya, emang kenapa?"
"Ya, Akbar gak punya teman lagi dong?" Akbar merajuk. Bibirnya cemberut. Pipinya yang temben makin terlihat bulat.
"Lha, bukannya kamu biasanya juga main ama Ilham? Setiap pulang sekolah pasti deh ke sono mulu pake apa tuh... papan seluncur yang udah menghebohkan warga desa."