Hari baru saja menunjukkan pukul lima lewat tiga puluh menit, tapi suasana di luar sana sudah tampak terang benderang layaknya pukul tujuh pagi. Efek kemarau panjang ditambah Karawang yang hingga saat ini belum pernah diguyur hujan, membuat pagi datang lebih awal. Dan seperti biasa, sarapan ala orang Karawang pun telah tersedia di atas meja ruang tamu. Sepiring pisang rebus dan bala-bala goreng.
"A Noval tumben udah bangun?" sapa Bi Isah sambil meletakkan nampan yang di atasnya terdapat sebuah teko berisi teh tubruk, setoples gula pasir dan tiga buah cangkir. Setelah meletakkan itu semua di meja, Bi Isah kemudian beranjak membuka gorden dan jendela rumah.
Ah, malunya aku disapa begitu. Karena selama seminggu di sini, aku baru keluar kamar itu sekitar pukul enam pagi. Itu pun setelah ada yang membuka pintu depan dan terdengar obrolan di teras depan rumah. Tapi khusus hari ini, entah kenapa aku ingin sekali bangun pagi. Ya, sekadar menikmati suasana pagi di kampung halaman Papah ini.
"Bi, pintu depan boleh dibuka kan?" tanyaku kepada perempuan yang telah puluhan tahun dipercaya Aki Dahlan untuk mengurus rumah ini. Bi Isah hanya mengangguk tanda mengiyakan.
Dan baru saja hendak kubuka pintu tersebut...
"Meong...."
Terdengar suara kucing dari arah luar rumah.
"Bi, emang kalo pagi-pagi gini selalu ada kucing di teras depan ya?" tanyaku, heran. Karena setiap kali aku bergabung dan ikut sarapan bareng Mang Subur dan Bi Isah di teras depan rumah, tak pernah sekalipun ada kucing di sana.
Bi Isah mengernyitkan keningnya. Tampaknya perempuan paruh baya itu pun merasa heran. "Sok atuh dibuka aja pintunya, A. Kali aja ada kucing orang yang nyasar kemari."
Dan benar saja. Setelah pintu depan kubuka, tampaklah seekor kucing persia peaknose dengan bulu lebat berwarna abu-abu putih. Di lehernya terpasang sebuah kalung rantai bertuliskan nama "Sassy".