“By the way, Cing Rohman itu siapa?” Entah kenapa nama itu mengingatkanku pada seorang OB juga, tapi di Triguna Jaya, tempatku bekerja.
“Cing Rohman itu adik almarhumah Nyak gue. Beliaulah yang merawat gue sejak Babe dan Nyak meninggal dalam kecelakaan bus sewaktu menghadiri wisuda Abang gue di Jogja. Kebetulan Cing Rohman nggak punya anak, jadilah gue sekalian diangkat anak oleh beliau.”
“Oh!”
Baru tahu gue kalo Abdul itu yatim piatu dan hanya diasuh oleh Encingnya.
“Terus Abang lu sekarang di mana? Masih... ada, kan?” tanyaku hati-hati, takut kalau Abdul jadi melow lagi, gara-gara teringat pada kedua orangtuanya.
Melihat ekspresiku, kontan Abdul malah tertawa geli. “Hahaha. Kok elu tanyanya gitu, sih? Takut gue mewek, ya?”
Sialan. Aku langsung mesem.
“Abang gue sudah nikah, Masbro. Sekarang menetap di Jogja, dapat gadis sono soalnya. Sudah punya dua anak, kembar lagi. Pokoknya sudah mapanlah hidupnya. Sekarang tinggal gue nih yang masih luntang-luntung nggak karuan. Mana masih ngerepotin Cing Rohman lagi.”
Kutatap wajah laki-laki yang duduk di sebelahku ini. Dari usia, jelas Abdul lebih muda daripada aku. Tapi pengalaman hidupnya, sungguh, aku benar-benar salut padanya. Hingga tanpa sadar...
“Apaan lu pegang-pegang tangan gue?” Abdul menepis kasar tanganku yang tiba-tiba saja telah menggenggam erat tangannya. “Iiih..., gue masih normal keules. Masih doyan sama cewek. Buktinya gue itu naksir berat sama Miss Diana.”
Dan bagai orang kesetanan, Abdul pun kemudian berusaha melepaskan diri dariku hingga sampai terjengkang dari kursinya dan membuatku terbahak-bahak tak karuan. Pada saat Abdul hendak berdiri kembali, sebuah benda rupanya terjatuh dari saku belakang celananya. Iseng, segera kupungut benda itu, yang ternyata sebuah dompet. Dan alangkah terkejutnya aku saat mendapati sebuah foto dalam dompet itu.