Ya, iyalah. Yang kemarin-kemarin itu bukan gue keules, tapi Rizal. Meskipun dengan tubuh yang sama.
“Iya, sori. Kemarin itu gue masih teringat sama bini gue. Jadi ya, gitu deh. Tapi akhirnya sekarang gue sadar kok, ngapain juga masih ingat-ingat mantan? Lha, dia saja sudah nggak peduli lagi sama gue? Iya nggak?”
Kulihat Abdul hanya tersenyum. Kemudian menarik kursi di sebelahku dan duduk di atasnya.
“Nah, gitu dong...,” ucapku sambil menepuk-nepuk bahunya. Rasa bahagia tak terbendung bisa bertemu kembali dengan si OB Betawi ini.
Abdul kembali tersenyum. Perlahan dirogohnya saku celananya dan mengeluarkan sebuah kotak merah panjang berbahan beludru.
“Apaan tuh?” Mulutku mengarah ke kotak panjang yang baru saja dikeluarkan Abdul.
“Oh, ini–” Wajah Abdul kembali memerah. Kemudian dibukanya kotak itu dan tampaklah sebuah kalung emas putih berliontin bunga matahari dengan inisial huruf “D” di tengahnya. Cantik, tapi terlalu mewah memang untuk ukuran OB seperti Abdul.
“Elu yakin bakal ngasih ini ke Miss Diana?” tanyaku, sangsi.
“Memangnya kenapa?” Abdul balik bertanya. Alisnya agak terangkat sedikit. “Malah tadinya gue mau ngasih cincin buat Miss Diana. Tapi kata Cing Rohman, itu terlalu cepat. Takutnya Miss Diana kaget, akhirnya malah menjauh dari gue. Ya, gue nggak mau lah.”
“Jadi, elu benaran serius ke Miss Diana?” Kini, malah aku yang dibuatnya kaget.
Abdul mengangguk mantap. Sedang aku hanya menghela napas panjang.