Heran. Siapa yang menyuruh elu curhat masalah pribadi lu.
“Eh, apa kata lu?” Rizal melotot ke arahku.
Ups!
Segera kugelengkan kepala. “Iya, iya. Terus?” tanyaku, acuh tak acuh.
Sejenak Rizal menatapku penuh curiga, sebelum akhirnya melanjutkan omongannya. “Ya, itu dia. Gue langsung ilfil, pas Abdul minta tolong ke gue soal Miss Diana. Secara gue lagi muak sama yang namanya perempuan, makhluk paling rese dan matre yang ada di dunia ini.”
Kembali keningku berkerut. “Lebay lu, ah. Nggak semua perempuan juga kali kayak bini lu itu,” belaku, sengit. “Lagian perempuan mana coba yang tahan lihat suaminya menganggur selama itu. Memang selama lu nganggur itu, yang cari duit buat keluarga lu siapa? Pasti bini lu, kan?” cecarku tanpa ampun.
Rizal mengangguk, pasrah.
“Ya, wajarlah kalo akhirnya doi minta cerai dari lu. Dasar elu itu suami tidak bertanggung jawab,” ujarku berapi-api.
Rizal pun menegang. Ia tampak tak suka mendengar ceramahku perihal rumah tangganya. Hingga akhirnya, “Stop, stop. Kenapa kita jadi ngebahas masalah bini gue, hah?”
Dan gara-gara Rizal emoh membantu Abdul itulah makanya aku bisa ada di sini lagi.
“Selamat pagi, Mbak Lydia,” sapaku, saat kudapati sosoknya sudah ada mengantre di depan lift di lobi bawah.