"Stop, stop! Hentikan memainkan lagu itu. Aku bosan mendengarnya."Â
Terdengar seruan yang sudah tak asing lagi di telinga Karin. Dan demi mendengar suara itu, Karin tiba-tiba saja berdiri dan ganti berteriak.
"Engkaukah itu, Kenzo?" Karin tersenyum menyambut kucing berkaki pincang itu. "Ayo, kemari! Ada yang ingin kuceritakan padamu." Karin menepuk-nepuk rok model a-line motif kembang yang dikenakannya. Maksudnya, agar Kenzo segera naik ke atas pangkuannya.
"Memang apa yang ingin kauceritakan padaku?" tanya Kenzo, berpura-pura. Karena sesungguhnya ia telah sangat mengetahui hal itu. Ia yang menguntit Karin hingga ke ruang utama ini telah menyimak apa saja yang menjadi pembicaraan antara Karin dan perempuan yang dipanggil tante itu.
"Kenzo, tahukah kau?" Karin memulai ceritanya saat Kenzo telah berada di pangkuannya. "Tadi ada seorang ibu bermaksud membawaku ke rumahnya. Itu... itu artinya... si ibu hendak mengadopsi aku kan? Iya kan?" Karin tampak antusias. Kenzo yang berada di pangkuannya pun ikut terguncang-guncang.
"Hei, jangan senang dulu! Belum tentu juga si ibu bersedia mengadopsimu. Buktinya sekarang, ke mana perginya ibu itu?"
Binar mata di wajah Karin mendadak meredup. Dan Kenzo merasa menyesal dengan kata-kata yang telah diucapkannya itu.
"Maafkan aku! Bukan maksudku untuk...."
"Sudahlah, lupakan saja. Mungkin aku memang tak pantas untuk diadopsi. Mungkin selamanya aku akan menjadi penghuni tetap panti ini." Mata Karin mengaca. Bulir air di sudut matanya perlahan mulai membasahi pipi tirusnya.
Kenzo benar-benar merasa menyesal. Ia bermaksud hendak mengapus air mata Karin, bila saja suara Bunda Heni tak menghentikannya.
"Karin Sayang, kemari, Nak!" panggilan lembut Bunda Heni kontan menghentikan air mata Karin. Segera diusapnya mata dengan punggung tangannya dan bergegas menghampiri pemilik panti asuhan ini.