Ali Mutaufiq
Di sebuah kota yang sibuk, di tengah hiruk-pikuk kehidupan yang serba cepat, tinggal seorang gadis bernama Maya. Usianya baru menginjak 22 tahun, bagian dari generasi yang dikenal dengan sebutan Gen Z---sebuah generasi yang lahir di tengah kemajuan teknologi yang luar biasa pesat, yang terbiasa hidup dengan dunia maya, media sosial, dan segala bentuk digitalisasi.
Maya adalah seorang mahasiswa yang baru saja lulus dari universitas, dan kini sedang berjuang mencari pekerjaan yang sesuai dengan minatnya. Namun, seperti banyak temannya, dia merasa bingung dan cemas tentang masa depan. Dunia yang mereka hadapi sangat berbeda dengan dunia yang dialami oleh orang tua mereka. Pandemi global, ketidakpastian ekonomi, serta tekanan sosial yang semakin besar di media sosial, membuat mereka merasa seolah-olah terperangkap dalam dunia yang penuh dengan ketidakpastian.
Suatu pagi, Maya duduk di depan meja belajarnya yang penuh dengan buku dan laptop, menatap layar yang menampilkan berbagai lowongan pekerjaan. Sekali lagi, dia merasa cemas. Semua pekerjaan yang dia minati, seperti marketing digital dan content creator, penuh dengan persaingan yang sangat ketat. Semua orang ingin menjadi seperti influencer atau kreator sukses yang dikenal di seluruh dunia, namun tidak semua orang bisa mencapainya.
"Maya, kamu sudah banyak belajar. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri," kata ibunya, yang baru saja memasuki kamarnya dengan secangkir teh hangat. "Generasi ini memang berbeda. Tantangannya lebih banyak, tapi itu bukan berarti kamu tidak bisa menghadapinya."
Maya menatap ibunya, mencoba mencerna kata-kata itu. "Aku merasa seperti harus selalu tampil sempurna, Bu. Semua orang di media sosial tampak begitu sukses, begitu bahagia. Kadang aku merasa ketinggalan."
Ibunya tersenyum dan duduk di sampingnya. "Maya, ingatlah bahwa yang kamu lihat di media sosial tidak selalu mencerminkan kenyataan. Setiap orang memiliki perjalanan hidupnya sendiri. Yang penting adalah kamu tetap jujur pada dirimu sendiri, dan tidak terjebak dalam perbandingan yang tak ada habisnya."
Maya mengangguk, meski dalam hatinya masih ada rasa tidak puas dan cemas. Namun, kata-kata ibunya tetap menempel dalam pikirannya.
Beberapa minggu berlalu, dan Maya mulai mencoba pendekatan yang berbeda. Dia tidak lagi membandingkan dirinya dengan orang lain di dunia maya. Sebagai gantinya, dia fokus pada kemampuan dan minat pribadinya. Dengan latar belakang di bidang desain grafis, Maya memutuskan untuk memulai kariernya sebagai freelancer. Meski banyak rintangan, seperti harus mencari klien sendiri dan mengatur waktunya, dia merasa sedikit lebih tenang karena dia menjalani sesuatu yang sesuai dengan minatnya, tanpa tertekan untuk mengikuti tren atau standar yang tidak realistis.
Suatu hari, Maya mendapat email dari sebuah perusahaan besar yang mengundangnya untuk wawancara. Ini adalah kesempatan besar yang selama ini dia impikan. Hatinya berdebar-debar, namun kali ini dia merasa lebih siap. Tidak lagi ada perasaan harus menjadi orang lain atau memenuhi ekspektasi orang. Dia merasa yakin dengan dirinya sendiri.