Mohon tunggu...
Ali Mustahib Elyas
Ali Mustahib Elyas Mohon Tunggu... Guru - Bacalah atas nama Tuhanmu

freedom, togetherness, networking, collaboration, immolation

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tak Ada Agama di Kementerian Agama?

23 Maret 2015   23:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:11 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kita mungkin masih ingat pernyataan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddi di “Mata Najwa” (4 Maret 2015). Saat itu Pak Menteri menceritakan bahwa hal pertama yang langsung diingat setelah dilantik menjadi Menteri adalah pernyataan Gus Dur. Gus Dur pernah mengatakan,  Departemen Agama saat itu layaknya pasar, semua ada, justru agama yang tidak ada di Departemen Agama.

Pernyataan Gus Dur itu mirip dengan apa yang pernah dikatakan Muhamad Abduh (1849-1905). Seorang ahli hukum dan ulama pembaharu asal Mesir ini pernah menyatakan, ”Aku pergi ke Barat dan melihat Islam, tetapi tidak ada umat Islam, aku kembali ke Timur dan melihat Muslim, tapi bukan Islam”. Begitulah kurang lebih apa yang dimaksudkan Gus Dur. Kita begitu mudah menemukan simbol-simbol agama di Kementerian Agama tetapi kita begitu sulit merasakan adanya nilai-nilai agama di sana

Pernyataan tersebut mengandung makna luar biasa karena diucapkan langsung oleh orang nomor 1 di kementerian agama. Makna itu di antaranya adalah : Pertama, Pak Menteri tentu sedang bicara tentang hal yang substansial. Bahwa secara substansial di Kementerian Agama memang belum ada plusnya dibanding kementerian lain yang tidak menyandang embel-emnel “Agama”. Nilai-nilai agama seperti kejujuran, ke-amanah-an, kedisiplinan, kesederhanaan dan keadilan belum banyak bisa dirasakan. Bahkan nilai keikhlasan yang secara simbolik terpampang jelas pada logo Kemenag : “Ikhlas Beramal”, hampir-hampir kehilangan maknanya. Dari titik inilah Pak Menteri bertekad untuk melakukan pembenahan di kementerian yang dipimpinnya.

Kelihatannya sudah dianggap lumrah untuk mengurus ini-itu di kementerian agama harus pakai uang. Mau ngurus kenaikan pangkat/golongan ada tarifnya, mau jadi pejabat tertentu ada tarifnya, mau ngurus mutasi ada tarifnya, mau tandatangan sertifiat ada tarifnya.mau menerima tamu pejabat harus sudah disiapkan bingkisan dan “amplopnya”. Dan semua ini dilakukan tanpa meninggalkan jejak sedikitpun. Tak ada tanda terima apapun terkait “transaksi” illegal ini.

Kedua, Pernyataan Menteri itu menunjukkan adanya kemauan elit untuk melakukan perubahan ke arah yang ;ebih baik yang harus dimulai dari tingkat pimpinan. Dan sudah seharusnya bagi bawahan juga harus melakukan hal yang sama. Para bawahan dan rakyat harus melatih mentalnya dari mental inlander, mental orang jajahan yang suka memperlakukan para pejabatnya dengan sikap hormat yang berlebihan, bahkan tidak jarang beberapa di antaranya yang suka cari selamat sendiri demi posisinya agar aman sentosa, mental ABS (asal bapak senang) maka apapun rela dilakukan demi menyenangkan atasan. Inilah ironinya. Di sisi lain bawahan dan rakyat suka mengkritik atasannya yang korup. Tetapi pada saat yang sama mereka justru rela "berkorban" demi menyenangkan majikan. Sudah jelas para auditor itu menolak menerima apapun dari pihak  yang sedang diaudit kinerjanya, lha kok tetep maksa agar para auditor itu mau menerima pemberiannya. Sekedar tanda ucapan terima kasih, katanya.

Ketiga, pernyataan Pak Menteri itu sekaligus meralat pernyataan beberapa pihak bahwa sebagai orang kementerian agama, sudah seharusnya menyampaikan hal-hal yang baik tentang kementerian ini dan bukan malah sebaliknya ikut menjelek-jelekkan. Apa yang dikatakan menteri tidak harus dianggap sebagai menjelek-jelekkan. Pernyataan semacam ini akan lebih baik bila dianggap sebagai otokritik yang justru akan mendewasakan dan memajukan. Pernyataan yang dilandasi kesadaran penuh betapa pentingnya introspeksi, menilai kekurangan diri dan berkaca agar dapat melihat bercak-bercak noda yang bisa jadi menempel di tubuh sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun