Sungguh ironis apa yang saya alami akhir-akhir ini. Bagaimana tidak. Wong sejak awal tahun 2016 ini saya ikut terlibat, walaupun cuma sedikit, untuk mempromosikan apa yang disebut dengan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). GLS atau GLM (Gerakan Literasi Madrasah) merupakan salah satu kegiatan yang didedikasikan untuk menuju pada kondisi Jakarta sebagai provinsi literasi Indonesia. GLS sendiri pertama kali digagas oleh Mendikbud Anis Baswedan pada 18 Agustus 2015.
Ini merupakan gerakan yang luar biasa di tengah kondisi Indonesia yang termasuk tertinggal untuk urusan yang satu ini. Taufik Ismail pernah punya kesimpulan yang berbunyi "Tragedi nol buku" setelah melakukan penelitian tentang kebiasaan membaca di kalangan anak-anak SMA di 13 negara pada 1997.Â
Data yang menunjukkan capaian kegiatan membaca di kalangan para siswa SMA yang ditelitinya adalah sebagai berikut :Thailand Selatan 5 judul, Malaysia 6 judul, Singapura 6 judul, Brunai Darussalam 7 judul, Rusia 12 judul, Kanada 13 judul, Jepang 15 judul, Swis 15 judul, Jerman Barat 22 judul, Perancis 30 judul, Belanda 30 judul, Amerika Serikat 32 judul, dan Indonesia 0 judul per tahun (Satria Dharma, 2016). Akibatnya, tahun 2015 skor kemampuan membaca siswa Indonesia berada di peringkat 64 dari 65 negara (OECD PISA dalam Satria Dharma, 2016).
Kebayang, betapa sulitnya upaya untuk mempromosikan kembali budaya baca di tengah kondisi bangsa yang seperti itu. Dan yang lebih berat lagi adalah upaya menaklukkan diri sendiri. Karena ketika harus mempromosikan kepada orang lain, saya justru mengalami masa paceklik dalam hal tulis-menulis ini. Masih mending-lah ketika awal bergabung di Kompasian (2010) hingga beberapa tahun berikutnya.Â
Tapi sekarang, ketika saya harus mengajak orang lain untuk rajin membaca-menulis, saya dihadapkan pada diri sendiri yang harus lebih dulu saya bereskan. Maka pilihan kata yang saya pilih ketika promosi soal literasi ini adalah, "Teman-teman. saya ini termasuk orang yang malas untuk membaca-menulis dan mungkin juga anda. Untuk itu mari kita lakukan bersama agar kita bersemangat melakukannya".
Target terdekat dari GLS Jakarta adalah penerbitan buku karya guru-siswa masing-masing sekolah/madrasah 1 judul buku (proyek ini bernama One Book One School/OBOS) yang kelak dipamerkan pada akhir Juni 2016 dalam sebuah acara bernama Festival Literasi Jakarta 2016 yang digelar di Universitas Trilogi Kalibata Jakarta Selatan.
Saat-saat yang paling berkesan adalah ketika harus menggarap proyek OBOS. Para guru yang biasa lantang bicara agar para siswa rajin membaca dan menulis ditantang untuk membuktikan diri tentang apa yang biasa diucapkannya. Beberapa guru ada yang berhasil membuat sebuah tulisan, ada yang setiap kali diminta karya tulisnya selalu menjawab, "siap" tapi gak dilkasnakan, ada juga yang sudah punya konsep dan tinggal menuangkannya di atas kertas tapi dia justru tak henti-hentinya bicara dan menceritakan mengenai konsepnya sampai mentok di ujung deadline  dan akhirnya, "Maaf ya. Saya gak keburu menulis".Â
Sementara saya sendiri merasa beruntung karena punya stok tulisan di kompasiana yang cukup untuk memenuhi kebutuhan kegiatan itu. Meskipun ada juga beberapa judul baru yang saya buat khusus untuk proyek OBOS itu. Satu hal lagi yang tak terlupakan adalah kalimat, "Males" ketika saya tagih, "Mana tulisannya? ayo dong, cepet kirim...!" dari seorang teman yang selama ini sering berkata, "Ayo semangat" untuk memotivasi teman-temannya dan juga para siswanya. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H