Mohon tunggu...
Ali Mustahib Elyas
Ali Mustahib Elyas Mohon Tunggu... Guru - Bacalah atas nama Tuhanmu

Pendidikan itu Membebaskan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Banyak Pungli di Sekolah?

11 Oktober 2014   21:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:27 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Media Indonesia dan Metro TV pagi tadi menyuguhkan “menu sarapan” yang sangat menggugah selera. “Menu sarapan” yang menjadi trade mark group Media Indonesia bernama “Editorial” pagi ini mengulas masalah pungli di sekolah dengan judul Mendidik Generasi tanpa Pungli.

Sebuah judul yang sangat menarik untuk diperbincangkan karena sifatnya yang aktual dan relevan dengan kondisi negeri saat ini. Apalagi hal ini kemudian disandingkan dengan fenomena perilaku koruptif dari banyak pejabat tinggi yang sebagian di antaranya telah berhasil ditangkap dan diadili. Kita tahu, hanya saat inilah ada pejabat sekelas menteri aktif yang ditangkap karena korupsi. Bahkan kita tahu ada ketua MK, yang semula kita duga sebagai lembaga paling steril dari korupsi dan pungli, juga berhasil diseret ke pengadilan dan divonis bersalah. Luar biasa.

Berbagai kejadian penyimpangan yang fenomenal itulah yang membuat banyak di antara kita yang mencemaskan masa depan bangsa ini akan seperti apa. Apalagi lembaga sekolah yang oleh Media Indonesia diibaratkan sebagai ladang tempat penyemaian bibit unggul generasi cerdas dan bermoral jempol di masa depan bila dirawat dengan baik.

Kecemasan bahwa sekolah saat ini hanya akan menghasilkan barisan koruptor yang semakin panjang, lebar dan meluas di masa depan cukup beralasan. Hal ini mengingat akan temuan terbaru Ombudsman Republik Indonesia yang menunjukkan bahwa sepanjang tahun ini pungutan yang dilakukan Panitia Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dan Kepala Sekolah terus berlangsung. Pungli itu menyebar mulai dari lingkungan SD, SMP, sampai SMA di 32 provinsi. Jumlah hasil pungli mencapai angka Rp 26 miliar. Angka yang sangat fantastik untuk sebuah penyimpangan yang terjadi di lingkungan lembaga pendidikan yang mestinya berfungsi sebagai benteng pertahanan terakhir dari serangan virus korupsi dan pungli.

Tapi yang perlu dipertanyakan di sini, siapa sebetulnya yang berhak menetapkan apakah pungutan itu termasuk pungli atau bukan? Dan belanja apa saja yang tidak boleh dilakukan oleh sekolah sehingga bila dilanggar lantas disebut sebagai pungli?

Pemerintah melalui program BOS (Bantuan Operasional Sekolah) memang telah mengatur secara rinci tentang apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan sekolah. Tetapi Permendikbud NO. 60 Tahun 2011 pasal 5 ayat 2 memberi kemungkinan bahwa dalam keadaan tertentu sekolah dapat melakukan pungutan biaya operasi dengan syarat mendapat persetujuan tertulis dari orantua siswa, komite sekolah, kepala dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota. Juga memenuhi syarat bahwa pungutan itu harus dituangkan dalam rencana strategis, rencana kerja tahunan, dan anggaran tahunan yang mengacu pada standar nasional pendidikan (SNP), segala perencanaan harus diumumkan secara transparan kepada pemangku kepentingan sekolah, pendapatan dimasukkan dalam rekening sekolah, pendapatan harus dibukukan secara terpisah dari dana yang diterima dari penyelenggara sekolah, dan penggunaannya benar-benar sesuai dengan yang direncanakan.

Selain itu, Permendikbud No. 44 Tahun 2012  menyatakan bahwa pihak sekolah dibolehkan menerima sumbangan dalam bentuk uang atau barang dari orangtua siswa.

Dua peraturan menteri pendidikan itu dapat dijadikan rujukan untuk tidak mudah menyebut pungutan di sekolah sebagai pungli. Misalnya dalam hal pembelian seragam sekolah, BOS hanya mengalokasikan biaya yang bersigat bantuan bagi siswa penerima BSM (Bantuan Siswa Miskin) atau siswa yang orangtuanya memiliki Kartu Perlindungan Sosial. Dana BOS sebesar Rp 710. 000/tahun untuk tiap siswa di SMP misalnya, jelas tidak mungkin dan memang tidak ada aturannya jika diperuntukkan untuk membeli seragam sekolah secara penuh. Jika pada akhirnya sekolah menyediakan seragam sekolah, lantas apanya yang salah? Toh orangtua siswa justru merasa dimudahkan karena bisa mendapatkan satu paket seragam sekolah di satu tempat. Dibanding bila mereka harus membeli sendiri di tempat lain dengan resiko jarak, waktu, dan biaya yang tentu lebih besar. Dengan berpikir demi kepraktisan inilah umumnya para orantua siswa itu tidak keberatan membeli seragam sekolah untuk anak-anaknya di sekolah. Demikian juga buku yang justru menjadi kebutuhan paling mendasar untuk proses pembelajaran. Meskipun BOS jelas telah menganggarkan pembelian buku, tapi bagi sekolah-sekolah tertentu yang membutuhkan buku-buku tambahan untuk memperkaya rujukan, maka tak ada salahnya sekolah menyediakannya. Asal orangtua tidak merasa keberatan untuk membelinya.

Punglikah hal yang semacam itu? Lantas apa dasarnya sehingga Editorial Media Indonesia begitu mudah menyebut bahwa para pengelola pendidikan ikut larut, bahkan akrab dengan perilaku koruptif? Bukankah ini cara pandang yang mudah menggeneralisasi persoalan. Mungkin penilaian itu tepat untuk kasus semacam pungutan “uang bangku”, “uang gedung”, uang daftar ulang, tes IQ, pembuatan kartu pelajar, dan biaya-biaya lain yang tidak secara substantif menyakngkut kebutuhan dasar proses pembelajaran. Mestinya seragam sekolah juga tidak termasuk kebutuhan dasar pendidikan. Tetapi apa boleh buat karena ini telah menjadi tradisi persekolahan di negeri ini dan di beberapa negara lain juga. Apalagi dari segi kemanfaatannya, jelas bahwa seragam sekolah berguna untuk menghilangkan perbedaan antara si kaya dan si miskin, dapat menimbulkan keengganan siswa untuk melakukan hal tercela ketika masih mengenakan seragam sekolah dan bila ada siswa yang nekat dapat lebih mudah mengidentifikasinya.

Setuju bahwa perilaku koruptif harus disapu bersih dari dunia pendidikan kita. Sebab kalau tidak, ini akan meracuni cara berpikir siswa bahwa penyimpangan adalah lumrah asal untuk tujuan yang baik. Misalnya masih banyak sekolah yang mau atau terpaksa melakukan suap kepada pejabat pendidikan demi apa yang mereka sebut “Sukses UN”. Ada pula pimpinan sekolah yang merayu tim auditor dari inspektorat jenderal suatu kementerian agar mau menerima “buah tangan” setelah selesai melakukan tugas audit kinerja di sekolah yang dipimpinnya, meskipun berkali-kali tim auditor itu menolaknya. Juga pembelian barang-barang yang sebetulnya tidak dibutuhkan atau tidak mendesak untuk diadakan di sekolah. Juga kebiasaan buruk para pejabat yang hobi memeras guru dengan dalih terkait dengan soal mengurus pengangkatan pegawai, kenaikan pangkat/golongan, minta setoran THR setiap menjelang lebaran, uang tandatangan, pencairan dana BOS yang tidak tepat waktu per triwulan sehingga menyebabkan sekolah mencari sumber-sumber dana lain. Inilah barangkali yang layak dipersoalkan Ombudsman dan lembaga-lembaga pemberantas korupsi lainnya demi menjaga wibawa lembaga pendidikan sebagai salah satu lembaga yang memiliki tugas dan fungsi super berat sebagai benteng pertahanan moral generasi bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun