Nama Gibran bergema di lorong sejarah,
di mana kata dan jiwa berpadu,
mewarnai ruang pemikiran dan mimpi,
seperti cahaya yang mengukir langit malam.
Kahlil Gibran---penyair yang suci,
menyelam ke dalam samudra spiritualitas,
membingkai keindahan dalam bait-bait abadi.
"Engkau boleh memberikan mereka kasih sayangmu,
tetapi bukan pikiranmu,
sebab mereka memiliki pikiran mereka sendiri,"
bisiknya, mengajarkan kelembutan pikiran
yang membebaskan jiwa dari belenggu kebodohan.
Ilmu, sastra, dan kebijaksanaan
menjadi lentera peradaban,
di mana setiap kata adalah benih pencerahan,
menginspirasi generasi dalam sunyi dan gemuruh.
Tapi lihat, Lihatlah di sana
Bahlil Gibran muncul sebagai bayang-bayang hitam,
simbol gelap dari keserakahan dan keangkuhan,
dimana integritas terkikis oleh nafsu,
dan nepotisme menggenggam erat ruang kekuasaan.
Di balik tirai kritik yang terabaikan,
sistem berkerut dalam keserakahan,
menolak perubahan meski badai kecaman menderu di seantero negeri.
Negeri yang terjebak dalam oligarki
tak akan mampu tumbuh berkembang,
sebab sumber daya hanya berputar di lingkaran sempit,
bukannya mengalir demi kemajuan kolektif.
Para begawan berkata:
"Masalah terbesar bukanlah orang jahat yang berkuasa,
tetapi bagaimana masyarakat menerima ketidakadilan sebagai sesuatu yang normal." Dan biasa-biasa saja
Di antara dua wajah Gibran,
terpatri refleksi peradaban,
antara pencerahan yang menerangi jiwa
dan kegelapan yang menutup harapan.
Dari Kahlil ke Bahlil,
kisah abadi terlukis dalam bait,
satu menyalakan obor kebijaksanaan,
satu lagi menggelapkan jalan kebenaran.
Semoga sejarah mencatat dengan jujur,
siapa yang menuntun manusia menuju cahaya,
dan siapa yang terjebak dalam bayang-bayang,
mewarnai dunia dengan pencerahan atau kegelapan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI