Mohon tunggu...
Ali Mustahib Elyas
Ali Mustahib Elyas Mohon Tunggu... Guru - Bacalah atas nama Tuhanmu

Pendidikan itu Membebaskan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fenomena Nelayan Kholid dan Wajah Pendidikan Kita

28 Januari 2025   11:16 Diperbarui: 28 Januari 2025   11:16 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : dokumen pribadi

Kholid, seorang nelayan sederhana, tiba-tiba mencuri perhatian publik dengan keberaniannya yang luar biasa. Di tengah gelombang masalah yang melingkupinya, ia muncul sebagai sosok yang tak hanya berani, tetapi juga cerdas dalam mengartikulasikan argumennya. Dengan intonasi yang penuh tenaga dan pilihan diksi yang tajam, Kholid menyampaikan kritik tajam terhadap korporasi yang merugikan masyarakat nelayan. "Kalau negara tidak berani melawan korporasi-korporasi itu, saya dan rakyat Banten yang akan melawannya," ujarnya dengan penuh kepercayaan diri. Pernyataan tersebut bukan sekadar ungkapan keberanian, tetapi juga mencerminkan rasa tanggung jawab yang mendalam terhadap komunitasnya.

Dalam konteks ini, kita perlu memahami lebih dalam mengapa sosok seperti Kholid bisa muncul dan mendapatkan perhatian publik. Pertama-tama, keberaniannya mencerminkan realitas pahit yang dihadapi oleh banyak nelayan di Indonesia. Mereka sering kali terjebak dalam ketidakadilan yang dilakukan oleh korporasi besar yang mengeksploitasi sumber daya laut tanpa mempertimbangkan dampak sosialnya. Kholid bukan hanya mewakili dirinya sendiri, tetapi juga suara dari ribuan nelayan lain yang merasa terpinggirkan. Dalam hal ini, Kholid menjadi simbol perlawanan yang mewakili harapan bagi banyak orang.

Apa yang membuat Kholid begitu istimewa? Bukan hanya keberaniannya, tetapi juga kecerdasannya dalam mengartikulasi argumen. Ia bahkan mengutip sebuah buku tentang logika penjajah untuk menanggapi kritik bahwa ia tidak seharusnya membela nelayan terdampak karena bukan warga setempat. "Logika penjajah selalu berpikir parsial," tegasnya, menolak pandangan sempit yang mengkotak-kotakkan manusia berdasarkan wilayah geografis. Pernyataan ini menunjukkan pemahaman mendalam Kholid tentang sejarah dan konteks sosial yang lebih luas. Ia tidak hanya berbicara untuk dirinya sendiri, tetapi juga mengajak orang lain untuk berpikir kritis tentang kondisi yang ada. Kesadaran tentang kemanusiaan tak dapat dipisahkan wilayah geografis. Oleh sebab itu, penderitaan manusia di tempat lain, seharusnya mampu menggerakkan kesadaran kolektif umat manusia di manapun berada. Apalagi bila penderitaan itu ada di depan mata kita, bahkan bisa jadi kita mengalaminya sendiri.

Fenomena Kholid adalah tamparan keras bagi wajah pendidikan kita hari ini. Dalam masyarakat yang semakin terdidik, mengapa keberanian untuk melawan ketidakadilan lebih sering muncul dari rakyat biasa seperti Kholid ketimbang dari mereka yang terpelajar? Orang-orang terpelajar umumnya tampak ragu untuk bersuara lantang, para intelektual sering kali memilih diam, berlindung di balik alasan moralitas semu, seperti "Saya tidak mau ribut" atau "Ini demi keamanan karir saya." atau "Kalau kita kritik atasan sama saja 'Bunuh diri' itu namanya." Maka mereka memilih diam terhadap pungli, korupsi, nepotisme, dan berbagai bentuk kebatilan lainnya, sekalipun mereka menjadi korban langsung. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan yang seharusnya membangun karakter dan keberanian, justru sering kali menghasilkan individu yang pasif dan enggan mengambil risiko. Dalam konteks ini, ternyata pendidikan gagal membebaskan manusia dari belenggu permisifisme. Pendidikan (persekolahan) bahkan tidak jarang dikelola dengan cita rasa penjajahan yang membatasi kebebasan berpikir dan pengembangan diri para siswa sesuai potensinya. Akibatnya para siswa menjadi pasif, tidak berani berinisiatif, berkreatifitas, bahkan tak ada keberanian untuk sekedar bertanya kecuali bila diminta gurunya. "Nggak ah, takut salah." Begitu alasan mereka ketika diminta berbicara. Rasa takut salah tidak hanya diidap anak-anak tapi juga juga orang dewasa. Tampaknya tidak mudah mengubah budaya feodalisme dari kehidupan bangsa ini.

Sebagai konsekuensi logis dari "logika penjajah" yang dikatakan pak Kholid, alasan yang mereka berikan sejatinya memperlihatkan logika orang terjajah, yang merasa bahwa nasibnya sepenuhnya bergantung pada guru atau pimpinan. Padahal, sebagai orang beriman, mereka seharusnya menyadari bahwa hidup ini tidak hanya bergantung pada manusia, tetapi ada kekuatan Tuhan yang maha kuasa. Di sinilah letak perbedaan kualitas kepribadian Kholid dengan mereka. Kholid, seorang nelayan tua, mampu berdiri tegak dengan idealisme yang menyala-nyala, sesuatu yang kerap dianggap ketinggalan zaman oleh sebagian kaum intelektual.

Retorika Kholid bahkan mampu melampaui, atau setidaknya sejajar, dengan kemampuan orang-orang terdidik. Keberaniannya menghadapi masalah langsung bertolak belakang dengan sikap apatis masyarakat yang lebih suka membahas hal-hal remeh daripada membicarakan persoalan bangsa. Idealismenya menjadi oase di tengah gurun pragmatisme, di mana budaya pop yang gemerlap sering kali membutakan kesadaran terhadap masalah sosial. Hal ini menjadi tantangan bagi dunia pendidikan kita, yang seharusnya mampu membentuk individu-individu yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki kesadaran sosial yang tinggi.

Ironisnya, banyak yang beranggapan bahwa berbicara tentang idealisme adalah hal yang usang, tak lagi relevan di usia tua. Namun, Kholid menunjukkan hal sebaliknya. Idealisme tidak mengenal usia. Keberanian Kholid membuktikan bahwa kesadaran untuk melawan kebatilan tidak memerlukan gelar atau jabatan tinggi, tetapi cukup dengan keikhlasan, keberanian, dan keimanan yang teguh. Dalam pandangan psikolog sosial, Dr. Joko Prasetyo, "Keberanian untuk berbicara dan bertindak adalah hasil dari pendidikan yang baik, yang tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter dan nilai-nilai moral."

Fenomena Kholid adalah pengingat bagi kita semua bahwa pendidikan tidak semata-mata tentang kemampuan intelektual, tetapi juga tentang keberanian moral. Jika pendidikan kita hanya menghasilkan individu yang pandai tetapi pasif, maka kita telah gagal. Kholid, seorang rakyat jelata, nelayan biasa, telah mengajarkan kepada kita esensi dari pendidikan yang sejati yaitu : keberanian untuk memperjuangkan kebenaran. Dalam konteks ini, kita perlu merefleksikan kembali tujuan pendidikan kita. Apakah kita hanya ingin mencetak individu yang cerdas secara akademis, ataukah kita juga ingin mencetak pemimpin yang berani dan bertanggung jawab?

Di tengah tantangan yang semakin kompleks, sudah saatnya kita merefleksikan kembali wajah pendidikan kita. Apakah kita ingin terus melahirkan generasi yang cerdas tetapi takut melawan ketidakadilan? Atau, seperti Kholid, berani menghadapi segala risiko demi kebaikan bersama? Jawabannya ada pada bagaimana kita memaknai dan mengamalkan nilai-nilai pendidikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Dalam hal ini, kita harus akomodatif terhadap keberanian untuk berbicara dan bertindak, meskipun itu berarti menghadapi risiko yang besar.

Kholid bukan hanya seorang nelayan, tetapi juga seorang guru bagi kita semua. Ia mengajarkan bahwa keberanian dan keikhlasan adalah kunci untuk memperjuangkan kebenaran. Dalam dunia yang semakin pragmatis ini, kita sering kali terjebak dalam rutinitas dan ketakutan untuk berbicara. Namun, sosok Kholid mengingatkan kita bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Kita harus berani mengambil sikap, meskipun itu berarti melawan arus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun