Mohon tunggu...
Ali Mustahib Elyas
Ali Mustahib Elyas Mohon Tunggu... Guru - Bacalah atas nama Tuhanmu

Pendidikan itu Membebaskan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Debat tentang Kata "Pacar" di Buku Siswa

31 Agustus 2024   14:28 Diperbarui: 31 Agustus 2024   14:50 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : dokumen pribadi

Diskusi mengenai penyusunan kurikulum pendidikan memang sering kali menghadirkan perdebatan yang cukup tajam, terutama ketika topik yang diangkat menyentuh isu sosial yang sensitif. Hal ini terlihat dalam diskusi panjang mengenai pemilihan judul modul pembelajaran untuk siswa kelas 8 Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau Sekolah Menengah Pertama (SMP), yang awalnya berjudul "Teman, Sahabat, dan Pacar." Dalam perdebatan tersebut, satu pihak mengusulkan penggantian kata "pacar" dengan kata lain yang dianggap lebih netral, sementara pihak lain berpendapat bahwa kata "pacar" tetap relevan untuk memperjelas perbedaan hubungan antara teman, sahabat, dan pacar.

Argumen Rasional dan Emosional dalam Diskusi Pendidikan

Argumen rasional dalam diskusi ini berfokus pada tujuan pendidikan, yaitu untuk mengedukasi siswa tentang perbedaan jenis hubungan sosial yang mungkin mereka temui. Menurut para ahli pendidikan, penggunaan kata "pacar" dibutuhkan untuk membedakan dengan jelas antara konsep teman dan sahabat, memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang dinamika hubungan remaja. Pendekatan ini mirip dengan metode pendidikan lainnya, yang secara eksplisit mendefinisikan konsep-konsep kunci untuk mendorong pemahaman kritis dan kesadaran. Misalnya dalam Al-Qur'an terdapat judul-judul surat seperti Al-Kafirun, Al-Munafikun dan lain-lain yang tentu saja bukan dimaksudkan untuk mempromosikan kekafiran dan kemunafikan. Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Andi Mappiare, seorang psikolog pendidikan, "Mengenalkan perbedaan antara teman, sahabat, dan pacar adalah penting agar siswa dapat memahami kompleksitas hubungan sosial mereka dengan lebih baik."

Di sisi lain, pihak yang menentang penggunaan kata "pacar" berargumen berdasarkan kekhawatiran bahwa istilah tersebut dapat dianggap sebagai persetujuan atau bahkan promosi terhadap praktik pacaran di kalangan remaja, yang dalam beberapa pandangan budaya dan agama dianggap tidak sesuai. Argumen ini lebih banyak didasari oleh pertimbangan emosional dan moral daripada pendekatan yang berbasis rasional. Menurut beberapa ustadz, guru, dan dosen yang terlibat dalam diskusi, "Kata 'pacar' dapat menimbulkan kekhawatiran bahwa kita sedang menyetujui perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral dan agama yang kita anut, bahkan khawatir menjadi pertanyaan dari para pemangku kepentingan."

Dilema Antara Rasio dan Emosi

Perdebatan ini mencerminkan dilema yang lebih luas dalam sistem pendidikan kita: apakah diskusi berbasis ilmu pengetahuan dan rasionalitas dapat berjalan tanpa terpengaruh oleh emosi dan kekhawatiran sosial. Dalam kasus ini, meskipun argumen rasional untuk mempertahankan kata "pacar" didukung oleh logika pendidikan, kekhawatiran emosional dan potensi penolakan dari pihak otoritas akhirnya menjadi faktor penentu dalam keputusan akhir. Kata "pacar" dihapus dari judul modul, mengutamakan persepsi keamanan sosial daripada ketegasan konsep.

Fenomena ini mengundang pertanyaan kritis tentang bagaimana kita memandang ilmu pengetahuan dan pendidikan. Apakah peran pendidikan semata-mata untuk melindungi dari potensi dampak negatif, atau seharusnya pendidikan justru berfungsi sebagai alat untuk menjelaskan dan membedakan antara yang benar dan yang salah, yang pantas dan yang tidak? Dalam sejarah pemikiran Islam, kita melihat tokoh seperti Al-Ghazali yang mengkritik filsafat dalam bukunya "Tahafut Al-Falasifah," tetapi ia melakukannya setelah mempelajari filsafat secara mendalam. Pendekatan Al-Ghazali ini menegaskan pentingnya memahami sebelum mengkritik atau menolak, suatu prinsip yang sering kali diabaikan dalam keputusan berbasis kekhawatiran.

Diskriminasi Teks dan Pengaruhnya terhadap Ilmu Penghetahuan

Kasus ini juga menunjukkan adanya diskriminasi teks dalam proses pendidikan, di mana kata atau konsep tertentu dicurigai hanya karena potensinya menimbulkan interpretasi negatif. Misalnya, jika kata "pacar" diganti dengan "teman Istimewa", dalam konteks ini juga sama-sama mengandung potensi salah interpretasi. Kata "teman istimewa" justru dapat dipahami sebagai hal yang positif karena dibalut kata "Istimewa". Padahal ini semula dimaksudkan untuk mengganti kata "pacar" yang dianggap negatif. Diskriminasi ini, jika tidak diatasi, dapat mengaburkan makna suatu kata dan bahkan merusak tujuan pendidikan yang sebenarnya, yaitu membekali siswa dengan pengetahuan dan kemampuan untuk berpikir kritis. Dalam konteks sosial yang lebih luas, pemilihan untuk menghindari teks tertentu dapat menyebabkan kekosongan pemahaman dan ketidakmampuan untuk menghadapi realitas yang kompleks. Seperti yang dikatakan Prof. Siti Maryam, seorang pakar sosiologi pendidikan, "Kita tidak bisa terus-menerus menghindari topik-topik yang dianggap sensitif. Justru dengan membahasnya secara terbuka dan kritis, siswa akan lebih siap menghadapi tantangan hidup yang sesungguhnya."

Pada akhirnya, diskusi berbasis rasio dan emosi ini mengingatkan kita akan pentingnya keseimbangan dalam pengambilan keputusan pendidikan. Sementara kekhawatiran moral dan sosial harus dihormati, mereka tidak boleh mengesampingkan prinsip-prinsip ilmiah dan rasionalitas yang menjadi dasar pendidikan yang berkualitas. Edukasi harus berfungsi untuk memperjelas, bukan menyamarkan, konsep-konsep penting yang membentuk pemahaman siswa tentang dunia di sekitar mereka. Seperti yang dikatakan Dr. Ari Susanto, seorang pakar kebijakan pendidikan, "Kita harus berani menghadapi perdebatan dan menyelesaikannya dengan mengutamakan kepentingan terbaik bagi siswa, bukan hanya berdasarkan kekhawatiran sesaat."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun