Mohon tunggu...
Ali Mustahib Elyas
Ali Mustahib Elyas Mohon Tunggu... Guru - Bacalah atas nama Tuhanmu

Pendidikan itu Membebaskan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ironi di Negeri Bhinneka Tunggal Ika

15 Agustus 2024   20:03 Diperbarui: 15 Agustus 2024   20:13 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia memang dikenal sebagai negeri yang mengusung semboyan "Bhinneka Tunggal Ika," yang menegaskan keberagaman sebagai fondasi negara. Semboyan ini berasal dari karya Mpu Tantular pada abad ke-14, yang merangkul keragaman budaya, agama, dan etnis di Nusantara. Sayangnya, di era modern yang seharusnya menjadi masa persiapan "Indonesia Emas," kita masih menyaksikan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan semangat tersebut.

Salah satu contoh terkini adalah larangan mengenakan jilbab bagi salah satu paskibraka di Ibu Kota Nusantara (IKN). Kebijakan ini membingungkan, mengingat jilbab telah lama diterima di berbagai institusi negara, termasuk militer dan kepolisian. Mengapa justru muncul pembatasan pada saat semangat inklusivitas seharusnya lebih kuat?

Buya Ahmad Syafii Maarif dengan tepat menyatakan bahwa "Keberagaman adalah kenyataan yang tak bisa dielakkan. Menyangkal keberagaman berarti menyangkal kenyataan, dan itu adalah kebodohan." Pandangan ini menekankan pentingnya menerima perbedaan sebagai bagian dari identitas bangsa. Melarang penggunaan simbol agama tertentu dalam acara nasional menunjukkan penyangkalan terhadap realitas sosial yang ada.

Sementara itu, Azyumardi Azra menegaskan bahwa "Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar slogan, tetapi harus menjadi prinsip operasional dalam setiap kebijakan publik." Menurutnya, kebijakan yang diskriminatif atau membatasi ekspresi keagamaan justru merusak tatanan sosial yang telah dibangun dengan susah payah. Ia mengingatkan bahwa kebijakan semacam itu tidak hanya mencederai prinsip kebhinekaan, tetapi juga menurunkan kualitas demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang seharusnya berlandaskan inklusivitas.

Di era yang semakin mendekati "Indonesia Emas," kita seharusnya melihat lebih banyak upaya untuk memperkuat persatuan dalam keragaman, bukan sebaliknya. Larangan-larangan semacam ini menunjukkan langkah mundur yang tidak sejalan dengan semangat Majapahit, yang justru berusaha merangkul perbedaan dan mencari harmoni di dalamnya. Saat peradaban besar seperti Majapahit sudah memahami pentingnya keberagaman, mengapa kita di era modern ini justru terlihat tidak paham pelajaran tersebut?

Masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang bisa menerima perbedaan tanpa menjadikannya sumber konflik. Mempertahankan atau memperketat kebijakan yang membatasi ekspresi keagamaan dalam acara-acara tertentu hanya akan memicu kegaduhan yang tidak perlu. Sudah saatnya kita mengembalikan akal sehat dalam kebijakan publik dengan memastikan keberagaman bangsa ini benar-benar dijamin eksistensinya, tanpa ada upaya untuk mengusik atau membatasi dengan alasan apa pun.

Ironi dari pelarangan jilbab dalam acara musiman seperti upacara bendera ini bukan hanya menyedihkan, tetapi juga merusak integritas nasional yang seharusnya sudah selesai diperdebatkan. Mereka yang bertanggung jawab mengelola negara-bangsa ini harus memahami bahwa keberagaman adalah aset, bukan ancaman. Dengan demikian, kita bisa bergerak maju sebagai bangsa yang benar-benar menghargai dan merayakan kebhinekaan, sebagaimana yang telah dirintis oleh para leluhur sejak beberapa abad yang lalu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun