filsafat universitas New York, 2007) menyebut istilah ketidakadilan epistemik dan membaginya menjadi dua yaitu : 1. Ketidakadilan kesaksian dan ketidakadilan hermeneutik. Yang pertama terjadi karena terkait identitas tertentu. Orang didengar pendapatnya karena berdasarkan gender, ras tertentu, status sosialnya, dan lain sebagainya. Orang meminta kesaksian suatu kasus dengan memilih dari suku tertentu atau warna kulit tertentu. Cara berbicara orang kaya lebih dianggap meyakinkan dari penuturan orang miskin. Atau sebaliknya, orang miskin dianggap lebih jujur karena keluguannya, sedangkan orang kaya dianggap penipu.Â
Miranda Fricker (profesorKedua terjadi karena dalih pemahaman atas sesuatu. Para pecinta ilmu menganggap diskusi itu penting tapi bagi para moralis, apalagi moralis-feodal, menganggap diskusi sebagai kegaduhan bahkan pertengkaran yang harus dihindari.Â
Repotnya, feodalisme Indonesia masih sangat kental hingga sekarang sejak era kerajaan dan dilestarikan pada era kolonial. Kolonialisme mengawetkan sistem feodal demi memperkuat posisinya di tanah jajahannya. Celakanya, penjajahan yang berlangsung sangat lama itu menimbulkan kesengsaraan mendalam yang salah satunya adalah tertanamnya mental orang terjajah dalam diri bangsa Indonesia hingga hari ini. Apa itu? Orang akan merasa bebas berbicara jika tidak ada pimpinan, termasuk menyampaikan kritik dan koreksi atas mutu kepemimpinannya. Ini kebiasaan baik sebetulnya, sayangnya hal ini tidak berani disampaikan langsung kepada yang bersangkutan. Orang rajin bekerja bukan karena kesadaran tapi karena perintah dan pengawasan atasan dan seterusnya.
Sikap paternalistik juga tumbuh subur di tengah sistem sosial semacam itu. Mereka mendudukkan para pemimpin di komunitasnya sebagai bapak dan mereka sebagai anak-anaknya. Akibatnya sistem sosial masyarakat modern dengan ciri khasnya yang egaliter tidak terjadi. Partai politik sebagai instrumen penting demokrasi juga tidak kalah ironis. Sebab nyatanya dalam partai politik tidak otomatis mampu mempraktikkan demokrasi karena peran para pemimpinnya yang berlebihan dalam mengendalikan para anggotanya.
Lingkungan akademik yang harusnya steril dari feodalisme, ternyata juga tidak sepenuhnya begitu.Â
Taufiqurrahman (dosen filsafat UGM) mengutip pendapat Robert A. Nisbet (1997) yang menyatakan bahwa usaha apapun untuk memahami iklim akademik kontemporer harus dimulai dengan pengakuan atas dua fakta yaitu : pertama struktur universitas/lembaga pendidikan yang aristokratik, kedua yaitu hubungan historisnya dengan tatanan sosial (stratifikasi sosial). Bahkan yang lebih parah adalah stratifikasi epistemik yang cenderung mengkerdilkan perkembangan ilmu pengetahuan.Â
Yang muncul kemudian bukan sekedar ketidakadilan epistemik, bahkan represi epistemik. Akibatnya di satu sisi orang bebas menyebar luaskan informasi tanpa meneliti dulu kebenarannya, di sisi lain ada sekelompok orang yang memilih bersikap diam membiarkannya dengan alasan tidak ingin ribut. Bagi kelompok ini yang penting mereka segera menghapus setiap informasi yang tidak disukainya.Â
Secara individu sikap ini benar, tapi mereka lupa bahwa secara sosial tetap akan menjadi gangguan. Sebagai orang yang memposisikan diri sebagai seorang moralis, tidak menjadi soal memilih bersikap diam atas lalu-lalangnya informasi. Tapi seyogyanya mereka juga tidak perlu menganggap sebagai kegaduhan bahkan pertengkaran atas setiap dialektika yang sebetulnya merupakan konsekuensi saja dari setiap perubahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H