Mohon tunggu...
Ali Musri Syam
Ali Musri Syam Mohon Tunggu... Sekretaris - Belajar Menulis

Pekerja, menyukai sastra khususnya puisi, olahraga khususnya sepakbola, sosial politik. Karena Menulis adalah cara paripurna mengeja zaman, menulis adalah jalan setapak menjejalkan dan menjejakkan kaki dalam rautan sejarah, menulis menisbahkan diri bagi peradaban dan keberadaban. (Bulukumba, Makassar, Balikpapan, Penajam Paser Utara) https://www.facebook.com/alimusrisyam https://www.instagram.com/alimusrisyam/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Prabowo-Hatta - Jokowi JK: Antara Harapan-Selera-Kenyataan

9 Juli 2014   15:45 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:52 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selama sekitar satu bulan atau kurang lebih tiga puluh hari belakangan ini. Cukup banyak/intens baik teman, rekan, sahabat, keluarga yang bertanya/berdiskusi tentang pandangan atau pilihan politik saya terhadap dua kandidat Capres dan Cawapres pada 09 Juli 2014 mendatang. Mereka berasal dari berbagai macam latar belakang yang berbeda, baik dari segi umur, pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin, latar belakang sosial, ekonomi, budaya, kultur, dan lain-lain. Tapi setahu saya mereka-mereka ini tidak ada yang berasal atau berafiliasi dari salah satu golongan dan atau partai politik tertentu, mereka “pure” masyarakat umum atau masyarakat biasa.

Dari beragam pertanyaan-pertanyaan itu ada satu hal yang dapat saya tangkap dari mereka, yakni bahwa ternyata perhatian, kepedulian, dan kesadaran masyarakat kita terhadap partisipasi politik sebagai bagian penting dari sebuah demokrasi modern itu cukup baik. Artinya adalah bahwa mereka paling tidak punya harapan dan asa terhadap pemimpin mereka yang akan membawa dan mengantarkan kita kepada kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang paling tidak selama lima tahun ke depan. Mungkin karena ekspektasi besar itulah mereka pun mencoba untuk berdiskusi dengan saya tentang pilihan yang paling pas dan paling baik.

Sahabat yang pertama, saya masih ingat betul pertanyaan. Jadi pertanyaan sahabat itu lewat media sosial, mungkin karena saking kerabatnya dengan saya. Dia bertanya seperti ini, “Komandan, nanti pilihannya pada 09 Juli 2014 siapa?" Saya pun tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Sampai keesokan harinya dia bertanya lagi, "Siapa Pilihannya Komandan?" Tapi saat itu belum saya juga. Akhirnya dia berkata, "Saudara netralkah?" Lalu dia berkata, "Kalau saya pasti pilih Jokowi-JK. Alasannya karena Jokowi sudah terbukti saat menjabat di Solo dan di Jakarta, dia terbilang sukses. Sedangkan JK sudah punya pengalaman sebagai Menteri dan Wapres dan itu juga adalah kesuksesan yang cukup luar biasa. Keduanya punya pengalaman birokrasi pemerintahan yang baik dan punya track record yang bagus." Lantas saya bilang, "Pilihan Anda tepat dengan dasar pertimbangan yang diucapkan tadi, tapi saya yang belum punya pilihan sampai sekarang." Lalu dia menjawab, "Ok Komandan! Mudah-mudahan nanti kita punya pilihan yang sama."

Orang yang kedua, adalah seorang guru besar seorang doktor dari salah satu universitas di Surabaya. Dia berkata seperti ini, "Ali, saya yakin Anda pada pilpres nanti akan memilih Jokowi-JK karena Anda punya pandangan yang sama dengan saya terhadap NKRI. Bahwa NKRI adalah harga mati dan yang bisa lebih mewujudkan warna NKRI itu adalah pasangan No.02. Jokowi itu adalah Representasi Indonesia Barat dan JK adalah Representasi dari Timur. Jadi keduanya adalah Dwi Tunggal Indonesia saat ini." Lalu dia berkata lagi, "Saya aktif di GMKI dan Ali dulu juga HMI kan, jadi saya kira kita punya pandangan yang sama tentang keindonesiaan." Saat itu saya hanya menjawab, "Pernyataan Anda benar dan semoga saja bisa terwujud dari pasangan No. 02 itu, tapi saya belum punya pilihan, tapi kalau mendengar penjelasan tadi, mungkin saya juga akan memilih Jokowi-JK."

Orang ketiga adalah seorang perempuan, ibu-ibu rekan sejawat di kantor tapi sudah lebih senior. Pertanyaan yang diajukan kepada saya kurang lebih seperti ini, "Pak Ali, nanti pilih siapa?" Saya lalu menjawab, "Terus terang Bu, Saya belum punya pilihan." Lalu saya tanya balik, "Ibu sudah punya pilihan?" Lalu dengan cepat dia menjawab, "Yah, pastinya saya pilih Jokowi-JK, Karena mereka adalah sosok yang sederhana, apa adanya, merakyat, suka blusukan, jadi dia bisa tahu betul apa aspirasi masyarakat dan punya empati. Ditambah lagi Pak JK orangnya sudah berpengalaman sudah pernah jadi Wapres dan terbukti dia sukses, selain itu pula Pak JK kan Satu kampung/suku dengan kita. Jadi Jokowi-JK adalah pilihan yang pas buat saya, kata ibu itu.

Lantas entah kenapa saya bisa langsung menebak kalau pilihan suami ibu itu berbeda? Pertanyaan saya begini; Tapi Pasti Suami pilih Prabowo-Hatta kan? Lalu ibu itu kaget, lalu dia bilang; Lho, kok tahu? Lalu saya Jawab; yah, saya Cuma nebak saja bu! Lalu dia berkata; Yah, kita (suami dan saya) punya pilihan yang berbeda kata suami saya, dia pilih Prabowo-Hatta karena tegas, cepat, responsive, berwibawa dan Pak Hatta punya pengalaman malang melintang di Kementerian.

Teman keempat adalah seorang PNS, dia seorang lelaki dan sudah terbilang senior. Tipe orangnya blak-blakan, terbuka, dan agak slengean. Saat kami mulai diskusi, dia tidak bertanya tapi menebak. Dia berkata seperti ini, "Ali, nanti pemilu Presiden pasti pilih Jokowi-JK kan? Karena kita sama-sama berasal dari Sulawesi Selatan sekampung dengan Pak JK. Lagi pula Pak JK itu sudah terbukti dan berpengalaman, ditambah lagi Pak Jokowi berhasil ketika memimpin Solo dan Jakarta, Orangnya sederhana, merakyat, suka blusukan. Jadi kedua orang ini sangat pas untuk memimpin RI paling tidak lima tahun ke depan." Saya lalu menjawab, "Terus terang sampai saat ini saya belum juga punya pilihan, saya masih menunggu petunjuk. yang bapak tadi katakan itu benar adanya dan saya kira pilihan itu tepat dengan alasan/dasar tadi juga yang tepat."

Orang yang kelima adalah keluarga yang tinggal di Makassar. Kami berdiskusi lewat handphone. Dia bertanya seperti ini, "Dik, siapa nanti pilihanmu pemilu presiden?" Tapi saya tidak langsung menjawab pertanyaannya. Malah saya balik bertanya kepada dia tentang pilihannya. Lalu dia dengan cepat dan lantang menjawab, "Kami sekeluarga lima orang sepakat pilih Prabowo-Hatta. Bahkan jauh sebelum pemilu legislatif kami sudah mengiming-imingkan semoga Pak Prabowo bisa jadi Capres." Katanya, "Saat ini kita masih perlu pemimpin yang berani, tegas, berwibawa untuk membawa perubahan yang cepat untuk Indonesia yang lebih baik. Dan sosok itu ada pada diri seorang Prabowo sebagai mantan Prajurit." Lalu saya bertanya kepada dia, "Kenapa tidak pilih JK, kan satu kampong/daerah?" Dia dengan santai menjawab, "Pak JK harusnya sudah legowo, tahu diri, kalau masanya sudah lewat, harusnya dia cukup menjadi penasehat saja bagi yang terpilih, harusnya dia memposisikan diri sebagai orang tua saja." Kemudian dia bertanya balik ke saya lagi tentang pilihan saya, dan lagi-lagi saya menjawab, "Saya belum punya pilihan saat ini, saya masih menunggu petunjuk. Lalu dia menimpal,  "Tapi saya yakin pilihanmu sama dengan pilihan saya."

Sebenarnya masih banyak lagi cerita-cerita/diskusi kami dengan berbagai macam orang, tapi saya hanya mencoba mengambil lima cerita sebagai bahan elaborasi sederhana. Ternyata yang bisa saya tangkap dari cerita-cerita lepas ini adalah jika pada dasarnya semua orang sudah punya pilihan-pilihan politik dari awal , yang sangat mungkin tidak akan berubah hingga hari –H- tiba. Dan pilihan itu saya pahami sebagai sesuatu pilihan yang pure/murni dan tidak terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan politik sesaat/tertentu yang bersifat pragmatis, sesaat dan transaksional. Inilah contoh pendidikan demokrasi politik yang sehat bagi masyarakat dan bisa menjadi acuan bagi kita (stakeholder) untuk bersama-sama membangun, menciptakan system poltik Indonesia yang lebih demokratis, adil, transparan. Jadi yang paling penting dari segalanya adalah pendidikan politik yang baik bagi seluruh rakyat, sehingga bisa menghasilkan sebuah output proses politik yang akuntabel.

Hal lain yang penting dari hasil diskusi-diskusi tersebut adalah bahwa pada saat ini kita sudah dihadapkan pada dua pilihan dan tidak mungkin kita punya pilihan lain, pilihan kita hanya pada pilihan no. 01 atau 02. Penulis menilai bahwa kedua kandidat pasangan ini adalah yang terbaik dari sebuah keniscayaan proses politik kita untuk Indonesia saat ini. Ibarat kata kita sedang berada di meja makan dan kita dihidangkan dengan dua jenis makanan yang harus kita pilih salah satunya, makanan itu saya persepsikan; Nasi goreng dan Nasi campur. Maka yang manakah kita pilih di antara kedua jenis makanan tersebut? Hemat saya semua itu akan berpulang kepada selera dan cita rasa kita masing-masing dan sangat wajar jika setiap orang punya selera yang berbeda namun bisa juga dipengaruhi oleh mood.

Karena ada orang yang ketika disuguhkan atau dihidangkan makanan favorit atau kesukaaannya bersamaan dengan makanan yang lain yang tidak digemarinya, pasti tetap akan memilih makanan kesukaannya, itu tentang selera. Tetapi Boleh jadi juga seseorang pada dasarnya sangat suka/hobi dengan nasi goreng tapi pada saat sedang disuguhkan secara bersama nasi campur dia akan beralih memilih nasi campur, karena mungkin sudah agak bosan atau ingin mengecap atau mencoba menu rasa yang lain, begitu juga sebaliknya, berarti ini mengenai mood. Dan itu bisa saja terjadi, demikian halnya dalam pilihan --pilihan yang bersifat politik. Kenapa? Karena pada dasarnya antara nasi goreng dan nasi campur itu memiliki bahan/komposisi utama yang sama, yang membedakannya hanyalah sebagian kecil bumbu atau penyedap rasa dan proses pembuatannya. Demikian halnya kedua kandidat kita, pada dasarnya punya visi-misi, program yang sangat-sangat ideal, namun yang berbeda hanya pada gaya dan penempatan-penempatan/penunjukan personil pembantu nantinya ketika dia memimpin.

Penulis melihat bahwa yang paling penting untuk kita bisa lihat dan cermati adalah bagaimana konsistensi mereka dalam mewujudkan visi-misi dan program kerja mereka jika terpilih. Karena pada dasarnya apa yang mereka tawarkan itu sudah sangat baik, bagus, ideal bahkan mungkin bisa dikatakan nyaris sempurna. Tapi apalah artinya konsep, gagasan, ide, pemikiran jika hanya sebatas lisan, tulisan, asa dan harapan-harapan saja tapi tidak mampu diejawantahkan/direalisasikan lalu kemudian hanya menjadi jargon politik semata. Untuk mewujudkan itu maka yang diperlukan secara mutlak dari seorang pribadi pemimpin yang mempunyai kadar moralitas yang tinggi dan paripurna. Moralitas adalah nilai-nilai luhur, baik, ideal yang ada pada diri pribadi masing-masing; kejujuran, keikhlasan, amanah, tanggung jawab dan lain-lain. Moralitas ini kemudian yang memunculkan apa yang dinamakan etika, semakin tinggi/kuat dorongan moralitas seseorang maka semakin baik pula etika seseorang begitu pula sebaliknya. Etika itulah kemudian yang menjadi ukuran seseorang dalam melaksanakan sesuatu karena di situlah tampak terlihat, ucapan, sikap, dan perilakunya.

Berjalan beriring dengan moralitas tadi adalah bagaimana mind set atau pola pikir yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Seorang pemimpin harus memiliki pola pikir yang baik, tepat, dan tentu saja sehat. Pola pikir menjamin terciptanya sebuah proses dan output yang konstruktif; dari keadaan yang tidak baik menjadi baik dan dari keadaan yang kurang baik menjadi lebih baik lagi. Pola pikir seseorang itu terbentuk dari apa yang dikatakan “imprint”, yakni kenangan/keadaan yang membekas di masa lalu dan tersimpan di bawah alam sadar seseorang. Selain itu pula pola pikir juga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti keluarga sebagai proses sosialisasi awal dari sebuah individu, kemudian pendidikan atau sekolah dan lingkungan atau orang-orang yang secara intens ada dan bersosialisasi dengan dirinya. Kesemuanya itu sangat mempengaruhi seseorang dalam membangun pola pikirnya.

Akhirnya penulis menutup untaian kalimatnya dengan mengatakan bahwa marilah kita menggunakan hak kita dalam proses politik ini, marilah kita memilih calon pemimpin kita dengan pemikiran yang jernih, pemahaman yang benar serta kesadaran penuh untuk menghasilkan pemimpin terbaik tanpa dilandasi oleh semangat-semangat semu yang temporal, sektarian, apalagi transaksional.

Tulisan ini sengaja saya muat tepat pada hari H, pemilu presiden dan wakil presiden RI, untuk menghindari penafsiran, pemikiran, pemahaman-pemahaman yang keliru dari berbagai pihak agar saya tidak dianggap dan terjebak dalam pemikiran pragmatis.

Selamat Memilih, Selamat Menjalankan Ibadah Puasa Bagi yang Menjalankannya! Semoga Rahmat Tuhan Senantiasa tercurah bagi kita semua dan Indonesia Raya, Amin YRA!

Wallahu A’lam Bissawab!

Wassalam!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun