Puisi : Sajakmu Menjelma Gerimis di Mataku
Di lereng Bukit Subur, kubaca kembali sajak-sajakmu. Yang mungkin telah Kau lupa diksi-diksinya. Aku tak tahu manakah yang lebih jingga, langit senja atau mataku ?
“ Hari-hari tanpamu, separuh jiwaku hilang “
Sepotong bait yang menghentikanku sesaat.
Membaca syair-syair syahdu, sering Kau kirimkan lewat malam-malam beku, mengalun, memenuhi ruang rindu, saat-saat dulu.
Musim berganti, kemarau telah menjelajah alam; tanah-tanah kering, daun-daun berguguran, haus kepanasan, kerontang seluruh badan.
Dalam ragaku bermukim kerinduan; sapaan manja, sambutan mesra, hangat pelukan.
Dalam jiwaku bersemayam kesyahduan; mencintaimu, memilikimu penuh seluruh.
Di sore yang temaram, angin berhembus pelan, menderu runutan riwayat, membaca tafsir-tafsir sejarah, menuangkannya kedasar cangkir.
Sampai matahari tenggelam di ujung cekung bumantara, langit menjelma kelam, suara-suara alam parau, memanggil-manggil bulir-bulir resah. Sajak-sajakmu tak mampu kutuntaskan. Jingga yang sedari tadi memenuhi rongga mataku kini menjelma gerimis.