Elegi Hari Raya di Tengah Pandemi
Bocah-bocah, anak-anak remaja lelaki dan perempuan: berlari-lari kegirangan, memasuki tiap-tiap rumah dari pintu ke pintu, gang ke gang, di jalan-jalan, di kawasan perumahan, di perkampungan; tak lagi ada.
Anak-anak muda milenial, gaul, keren: berkumpul, bersenda gurau di beranda-beranda rumah sambil membahas pelajaran, kegemaran, gebetan dan lainnya; tak lagi terdengar dan terlihat.
Ibu-ibu muda, paruh baya, emak-emak, tante-tante, nenek-nenek dengan ragam gaya, aksesoris dan penampilan gaun yang beraneka, penampakan wajah glowing dan bling-bling, sambil cipika-cipiki menyiapkan aneka hidangan di ruang keluarga dan dapur; sudah lenyap.
Canda tawa, olok-olokan, saling sindir, pamer gaya, hingga percakapan serius para lelaki dewasa, bapak-bapak, paman-paman, kakek-kakek di ruang tamu dan teras; nyaris tak terlihat lagi.
Hari raya seperti tahun-tahun sebelum adanya pandemi; nuansa dan suasana itu ada, kehangatan menyelimuti sekeliling ruang. Keceriaan, keriangan, kekeluargaan, pertemanan, kekerabatan, kasih sayang; kini semua lesap.
Semua seolah hilang ditelan masa dan menjadi lazim.
Aku hanya khawatir, jika suatu ketika keadaan ini menjadi budaya dan kita menerima itu sebagai sebuah kemestian.
Semua ini karena satu hal;