“Orang yang baik bukanlah orang yang tidak punya kesalahan, tetapi orang yang jika ia berbuat salah, segera menyadari kesalahannya ,meminta maaf, dan tidak mengulangi kesalahan yang sama dilain waktu.” (AMS99)
Manusia diberi akal dan hawa nafsu oleh Allah secara bersamaan. Tidak seperti malaikat yang hanya dibekali oleh akal (statis) dan tidak dibekali hawa nafsu, sehingga ia hanya punya potensi untuk melakukan kebenaran (kebaikan).
Lain halnya setan hanya di bekali hawa nafsu dan tidak memiliki akal, sehingga secara naluri ia hanya akan berbuat kesalahan (keburukan).
Berbekal akal dan hawa nafsu sekaligus, manusia setiap harinya akan bergelut dengan dorongan untuk melakukan kebaikan sekaligus hasrat untuk melakukan keburukan (kejahatan).
Tarik menarik dua kepentingan itu bergelayut dalam pikiran setiap manusia dalam melewati kehidupan sehari-hari dalam segala aktivitasnya.
Jika dorongan akal yang lebih dominan, maka manusia tersebut akan sampai pada puncak pencapaian tertingginya sebagai manusia yakni senantiasa dalam kebaikan (kebenaran).
Jika sebaliknya hasrat hawa nafsu yang menguasai dirinya, maka manusia tersebut akan melakukan segala bentuk keburukan dan derajatnya bahkan lebih rendah dari setan.
Lantas, bagaimana jika seseorang melakukan kesalahan?
Secara garis besar kesalahan (dosa) manusia terbagi dua, yakni dosa kepada Allah dan dosa kepada sesama (manusia).
Dosa manusia kepada Allah Subhanahuwataala akan terampuni sepanjang telah bertaubat, namun Allah belum mengampuni dosa antar sesama manusia sepanjang ia belum meminta maaf.