Sudah jadi rahasia umum, kaum hawa menuntut pria bersikap gentleman. Tapi, apa mereka sendiri juga bertindak-tanduk ladylike?
[caption id="attachment_91568" align="aligncenter" width="680" caption="Ilustrasi: Ruben L. Oppenheimer"][/caption]
Barangkali Anda masih ingat film The Social Network. Mark Zuckerberg, kaisar dunia maya, dalam film itu digambarkan sebagai pemuda kaku, kasar, dan tak peduli perempuan. Ia terang-terangan melecehkan pacarnya, Erica, dan membeberkan romantika percintaan mereka di internet. Selain itu, Mark membuat situs berisi daftar mahasiswi Universitas Harvard layaknya kontes kecantikan. Teman-teman Mark dan mahasiswa lainnya bebas mengolok-olok atau memberi komentar tak senonoh secara online. Mudah ditebak, para mahasiswi pun berang.
Padahal, kalau ditilik lebih lanjut, Erica dan gengnya pun bukan sosok yang menyenangkan. Mereka adalah perempuan-perempuan dingin, culas, dan angkuh. Di awal film tersebut, Mark sudah ‘mengaku dosa’. Ia berambisi masuk ke perkumpulan mahasiswa ternama di kampusnya dan ingin membawa Erica ke lingkungan yang lebih baik. Erica langsung naik pitam dan memutuskan hubungan mereka setelah mengetahui niat terselubung Mark. Dalam keadaan mabuk, Mark melampiaskan kekesalannya dengan membuat situs yang mencemooh Erica.
Asumsisaya, sebagian besar penonton melihat Erica sebagai korban Mark dan bukan sebaliknya. Oke, situs garapan Mark boleh dibilang mirip ‘pasar lelang daging’ dan merendahkan perempuan. Tapi jangan lupa, wanita pun senang menilai kaum adam dari penampilan fisiknya. Perempuan juga tak kalah ‘liar’ kalau memberi komentar-komentar bernada seksual terhadap lawan jenisnya. Nggak adil ah… Kenapa laki-laki yang harus disudutkan dan menanggung risikonya. Politically correct?
Mungkin ada yang protes, The Social Network cuma adaptasi layar lebar kehidupan pribadi Mark Zuckerberg dan sudah dibumbui resep Hollywood. Namun, film itu bersifat emblematic. That’s the way we live now… Gajah di pelupuk mata tidak tampak, kuman di seberang lautan tampak. Perumpamaan ini tepat menggambarkan era digital. Kita sibuk mencari di bawah dan sekeliling kaki-kaki gajah itu, sekalipun inti permasalahan terpampang jelas. Kalau menyangkut soal percintaan, sejak zaman baheula perempuan itu lebih dominan dan berkuasa dibanding lelaki.
Anehnya, kita pun seakan menelan mentah-mentah fenomena ini. Kan udah begitudari sononya… Kaum feminis juga ‘curang’ dan tak mau kalah menyuarakan kesetaraan jender. Perempuan adalah makhluk superior dan (hampir) selalu menang perkara. Anda kenal legenda Nyi Roro Kidul? Dongeng-dongeng lawas itu memberi gambaran situasi kehidupan di kurun waktu tertentu. Di masa prasejarah, perempuan diasosiasikan dengan figur agresif, membahayakan, dan amat peka dengan naluri keibuannya. Orang mafhum, mereka berkewajiban meneruskan keturunan. Pria purba harus tunduk dengan berbagai ritual dan inisiasi untuk menaklukkan idamannya.
Di zaman Babilonia, seorang pangeran diharuskan melawan naga raksasa betina dengan iming-iming perawan jelita. Rekan kerja saya kerap mengeluh: apa sih maunya istriku? Kaum pria harus bergelut dengan teka-teki dan menebak keinginan pasangan mereka. Bukan hanya diklaim secara fisik, emosi pria pun dimainkan oleh wanita. Apakah ini balas dendam mereka terhadap sistem patrialisme? Atau salah satu siasat hidup? Di dunia Barat, menuruti syahwat adalah hal lumrah. Pria dan wanita gampang berhubungan intim tanpa ikatan apa pun. Tapi, one night stand juga dapat berakibat ‘fatal’. Masih banyak perempuan merancukan hubungan intim dengan komitmen. Nah lho…
Ayo dong, kaum hawa! Kalau Anda ingin laki-laki bersikap gentleman, tunjukkan pula perempuan sanggup bertingkah laku lady alike.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H