Mohon tunggu...
Isa Alïmusa
Isa Alïmusa Mohon Tunggu... -

I walk like a cat on a hot tin roof. Cautiously. Some say it's easy, some say it's not. I think it's not. I do my best not to fall.\r\n\r\n"What is the victory of a cat on a hot tin roof? - I wish I knew... Just staying on it, I guess, as long as she can" \r\n(Tennessee Williams)\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Money

Merek = Emosi

16 Agustus 2011   12:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:44 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12991788471689539536

Apakah jarum arloji Rolex berdetak lebih tepat waktu daripada Swatch? Kamera Nikon membuat gambarlebih tajam dibanding Pentax? Mobil Mercedes lebih aman ketimbang Volvo? Beberapa merek tertentu mempunyai image tersendiri, walaupun merek-merek itu secara kualitatif begitu dekat satu sama lain. Rolex memberi kesan mewah, Nikon identik dengan profesionalitas, Mercedes adalah kualitas terjamin dari Jerman dan sinonim dengan keamanan.

[caption id="attachment_129652" align="aligncenter" width="550" caption="Ilustrasi: Arnoud van den Heuvel & Koert van Mensoort"][/caption] Sudah jadi rahasia umum, merek adalah salah satu faktor strategis mencapai sukses. Perusahaan-perusahaan dapat mengoptimalkan merek mereka, salah satunya dengan ‘memainkan’ emosi konsumen. Anak kecil yang duduk di jok belakang mobil begitu melihat lambang M dari kejauhan sudah tahu bahwa McDonald’s ada di situ. Otomatis, diskusi akan berlanjut: stop sebentar, mencari restoran lain, atau melanjutkan perjalanan. Tanpa disadari, orangtua anak tersebut ikut terpengaruh.

Contoh lain, Coca-Cola atau air mineral Evian. Dua merek tersebut dianggap semacam pegangan dan jaminan rasa aman. Ketika pergi berlibur ke negara asing – yang kadang tidak begitu jelas standar higienisnya – turis-turis akan memesan Coca-Cola atau air minum Evian. Mebel IKEA dari Swedia terkenal dengan slogannya ‘Desain menarik dan harga terjangkau’, kendati pembeli paham risikonya. Mereka harus mengangkut dan merakit sendiri mebel-mebel itu.

Imej sebuah merek di dunia otomotif jauh lebih seru. Semua orang tahu, Toyota adalah sebuah merek terpercaya dan mobil keluaran perusahaan ini dapat diandalkan. Namun, sepertinya orang lebih percaya diri jika memegang kunci mobil BMW. BMW dianggap mobil pemimpin dan bonafid, sedangkan Volvo memberi kesan formal tapi juga rasa aman. Orang rela membayar ekstra untuk sebuah logo Volkswagen. Padahal, Skoda – anak perusahaan VW – memakai mesin yang sama.

Konsumen senang secara langsung mengidentifikasikan dirinya dengan merek-merek tertentu. Perusahaan mobil Audi dapat menaikkan gengsinya selama 25 tahun terakhir menjadi merek kelas satu dan eksklusif. Mobil BMW disebut sportif dan lambang kesuksesan, sekalipun produk-produk motor perusahaan yang berpusat di Bavaria ini tidak terlalu diperhitungkan.

Di Uni Eropa dan sebagian negara Asia, kemakmuran adalah hal biasa. Detail dan hal-hal yang terlihat tidak penting justru harus ditonjolkan. Minuman anggur diberi kemasan tertentu atau whisky berlabel edisi khusus. Hip dan up to date! Kalau Anda sempat mampir di Belgia, satu kotak coklat Godiva mungkin berharga 22 euro, tetapi embel-embel kata gold collection di kemasannya membuat orang tetap mengantri di gerai ini.Quality above quantity?

Agaknya, harga tak lagi menjadi patokan bagi konsumen. Pilihan warna kemasan pun kerap jadi pertimbangan. Konsumen mau merogoh kocek lebih dalam asalkan produk yang mereka beli memperkuat identitas mereka. Harga bukan lagi menjadi pertimbangan utama. Orang begitu cepat bosan. Di sinilah sebetulnya letak kuncinya. Persaingan makin ketat dan mau tak mau, produsen harus melihat celah-celah ini.

Siapa yang tak kenal iPod? Di seluruh dunia baik anak kecil, remaja, dewasa maupun orang tua ingin memiliki iPod asli. Padahal, masih banyak MP3 player lainnya yang hampir sama atau lebih baik mutunya. Pabrik Apple tidak perlu membuat iklan khusus. Reklame dari mulut ke mulut sudah cukup. Bahkan, sekarang ini iPod dapat disambung langsung dan dinikmati di mobil-mobil bermerek tertentu.

Remaja adalah konsumen yang paling sensitif terhadap merek. Di Belanda, bocah-bocah puber sering merengek ingin mengenakan pakaian dalam bermerek Björn Borg, kendati banyak yang tidak tahu mantan petenis Swedia ini dan ia bukan idola teenager masa kini. Björn Borg berubah menjadi sebuah ‘institusi’ dan salah satu merek beridentitas kuat.

Jika Anda masih lajang, pasti pernah pusing belanja kebutuhan sehari-hari. Pusat grosir lebih tepat untuk berbelanja kebutuhan basic bagi keluarga (besar). Carrefour mungkin menawarkan 35.000 produk, tapi orang yang masih single lebih memilih warung mini. Tak ada waktu untuk memasak dan kalau perlu tinggal mampir ke ­pasar swalayan dekat rumah. Apalagi, supermarket punya cukup pilihan beragam, meski mematok harga lebih tinggi.Paradoks? Ah, konsumen pun senang dengan hal-hal yang bertolak belakang dan selalu ingin mencoba sesuatu yang baru. Pengusaha juga makin inovatif dan jeli ‘memeras’ kantong.

Amsterdam, 16 Agustus 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun