“Menyusuri laut beku? Ih, kurang kerjaan aja…” Barangkali, demikian benak banyak orang. Eropa boleh ‘beruntung’, tiga kali berturut-turut dalam tiga tahun terakhir ‘dihadiahi’ musim dingin relatif ekstrem. Tak usah dibahas musibah yang melanda sebagian Eropa Timur akibat salju lebat dan suhu menggigit tulang. Mother nature—selain keberingasannya—punya sisi menakjubkan pula.
Belanda, negara di pinggir laut yang selalu dihembus angin kencang, ‘ditakdirkan’ tak bergunung. Jangan harap mencoba main ski atau snowboarding di sini—kecuali di indoor hall. Namun, bagi penggemar seluncur es, Belanda adalah ‘surga’. Begitu temperatur beberapa hari anjlok di bawah titik beku, ‘demam’ ice skating bakal melanda. Tak heran, ratusan kanal, rawa-rawa, dan parit lebar berubah jadi lapangan es cuma-cuma.
Takut berseluncur di atas es? Tak perlu khawatir, masih ada atraksi lain. Beruntung, Belanda ‘dipagari’ pantai dari ujung ke ujung. Laut yang biasanya bergolak, mendadak diam membisu. Salju dan es mendominasi, angin pun seakan membeku. Hening, tak ada suara apa pun. Sejauh mata memandang, abu-abu dan putih terhampar. ‘Lukisan’ monochrome ini nyata, bukan buatan manusia.
Sebelum hunting, kami sudah diwanti-wanti untuk mengenakan pakaian ekstra hangat, kendati angin ‘sedang tapa’. ‘Dibungkus’ syal, sarung tangan, sweater tebal, snowboots rakitan, serta penutup kepala dan telinga, kami berjalan agak tertatih—layaknya pinguin—mengikuti pemandu kami. Kali ini, rute kami adalah wilayah Pieterburen, pusat penangkaran dan penampungan anjing laut dekat kota Groningen, Belanda utara.
Briefing singkat dan basa-basi perkenalan dengan grup kami berlangsung di Pieterburen. Kami menyaksikan bagaimana anjing-anjing laut itu kelelahan dan kesasar. Relawan sigap menolong, membersihkan, dan memulihkanhewan-hewan tak berdaya itu sebelum dilepas ke alam bebas. Di sini, kami pun dibagi sepatu lars karet—sengaja agak kebesaran—dan dianjurkan memakai kaus kaki tambahan yang sudah disediakan. Jarak pendek 2,5 kilometer bakal terasa berat di suhu -15°C.
Namun, mata kami ‘ditraktir’ pemandangan luar biasa: ladang pertanian diselimuti salju, rumah-rumah petani tradisional, dan menara gereja tampak cantik seperti di kartu pos. Tiba-tiba matahari muncul dan membuat langit semburat biru. Putih dan biru—warna kontras apik memanjakan mata. Tak ada burung terbang, di kejauhan kelinci melompat ‘tebar pesona’. Setelah itu, ‘hilang’ di tumpukan ‘kapas’ putih ke liang persembunyiannya.
Wiegbold Wieringa (65), guide kami, seakan tidak peduli hawa dingin. Ia tak henti bercerita seputar sejarah kawasan Pieterburen dibumbui anekdot seadanya. “Jangan takut, di sini tak ada beruang kutub, yang ada hanya orang ber-uang,” ujar pemandu gaek itu memecah kesunyian. “Ha ha ha...!” kami tertawa hambar. Dingin makin merasuk tulang dan telinga kami seperti diiris-iris. Lambat laun, celoteh grup kami pun makin pudar—entah kedinginan atau takjub meresapi keajaiban alam.
Setelah menuruni tangga di tanggul, kami pun sampai di pinggir pantai. Wajah Pak Wiegbold berubah serius. Ia mengambil piranti GPS dari ranselnya dan segera mengirim SMS ke Pieterburen. “Ini protokol. Saya baru saja memberi tahu lokasi kita. Kalau ada apa-apa, regu penolong sudah siaga,” ungkapnya. Kami hanya mengangguk lega dan mulai berjalan terseok. Pasir di pantai pun ikutan kaku. Diterpa matahari, butiran itu seperti manik-manik kecoklatan.
Sebagian dari grup kami, tak tahan ingin mencicipi butiran es itu. “Yuckkk, asin!” seru mereka. “Ya iyalah. Jelas-jelas air laut,” timpal Pak Wiegbold menyeringai. Pantai yang kami jajaki, sejenak tampak seperti tundra. Motif-motif es beku itu seperti dilukis oleh mahluk asing. Bisa jadi, UFO singgah sejenak di Negeri Kincir Angin.
Srek srek srek… Sol sepatu lars kami beradu dengan pasir beku. Beberapa peserta mulai beraksi ceklak-ceklik dengan kameranya. Pak Wiegbold berjalan tegap memegang tongkat besi. Sesekali ia mengukur kedalaman es dengan tongkatnya. Tatapannya berubah tegas sewaktu saya mencoba berhambur menuju laut lepas. “Usahakan tetap di dalam kelompok,” teriaknya.
Pak Wiegbold menghela nafas, “Lihat, kemarin sore saya sempat menggores nama saya di sini. Sekarang, relief itu masih jelas tersisa. W-I-E-G-G-Y.” Di sampingnya, masih ada jejak tipis berbentuk trisula. Mungkin, kaki burung camar pernah pula mampir menapaki senja. Ah, iseng-iseng saya juga melakukan hal serupa, meski jari telunjuk nyaris mati rasa. Cres cres cres… Guratan aksara ini bakal jadi saksi bisu saya. Walanda pun punya tundra...
Amsterdam, 21 Februari 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H