Mohon tunggu...
Isa Alïmusa
Isa Alïmusa Mohon Tunggu... -

I walk like a cat on a hot tin roof. Cautiously. Some say it's easy, some say it's not. I think it's not. I do my best not to fall.\r\n\r\n"What is the victory of a cat on a hot tin roof? - I wish I knew... Just staying on it, I guess, as long as she can" \r\n(Tennessee Williams)\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Cari “Harta Karun” di Balai Lelang

30 Agustus 2012   20:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:07 1094
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kompasianers ada yang hobi blusukan di tukang loak? Dulu, sewaktu menetap di Jakarta dan masih piyik, saya sering diajak almarhum kakek saya keliling di Jalan Surabaya. Eyang kakung betah berjam-berjam mencari kerajinan kuningan kesayangannya dan peti kayu jati tua. Saya sih anteng-anteng aja, kan setelah itu bakal ditraktir es krim di sekitar Jalan Veteran.

[caption id="attachment_209682" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi: NRC Handelsblad"][/caption]

Barangkali, karena keseringan melihat lapaknya penjual barang antik, kegemaran mendiang opa ini lambat laun menurun ke cucunya. “Buah apel jatuhnya enggak jauh-jauh dari pohonnya,” begitu peribahasa orang Belanda. Saya pun ‘ketularan’ mbah kakung dan mulai senang ngabuburit mencari piringan hitam dan komik kesayangan selepas jam sekolah.

Tak terhitung berapa kali koleksi buku dan LP saya ‘pindah tangan’. Tak mungkin membawa seluruh kardus dan tumpukan itu sewaktu saya ‘hijrah’ ke Belanda. Saya relakan semuanya, daripada terbengkalai dimakan rayap dan jamuran. Toh masih ‘beredar’ dan dirawat oleh anggota keluarga juga. Itung-itung daur ulang dan belajar hidup sustainable.

Sejak menetap di Amsterdam, kebiasaan ini terus berlanjut. Pucuk dicinta, ulam tiba… Ibukota Belanda ini ternyata ‘biangnya’ pasar loak, garage sale, dan balai lelang. Setiap 30 April atau Hari Ratu, seluruh Belanda berubah menjadi ‘pasar rongsokan nasional’. Tiap orang diperbolehkan ‘gelar tikar’ dadakan. Bukan hanya penduduk lokal, turis pun tumpah-ruah mencari ‘harta karun’.

Pasar barang bekas, tukang loak, dan garage sale—baik terorganisir maupun kagetan—mungkin di Indonesia sudah lazim. Kompasianers ada yang pernah iseng pergi ke balai lelang? Bukan pelelangan ikan, lho… Hehe.. Saya pernah punya anggapan, auction house seperti ini hanya untuk kaum the happy few alias gedongan. Usut punya usut, balai lelang ini terbuka kok bagi semua orang.

Tak sengaja, saya pernah kelayapan dan mampir ke salah satu rumah lelang di Amsterdam. Saya sebetulnya enggak niat menawar barang. Tapi, di katalog yang dibagikan oleh penerima tamu, tersembul foto kain songket asal Bukittinggi yang mencuri perhatian. Setelah sepintas melihat kain itu, saya pun masuk ke aula dan memperhatikan kerumunan pengunjung.

Tamu-tamu itu amat beragam: ada remaja berjaket lusuh berambut gimbal sedang meneliti piring antik sembari ber-SMS, ibu-ibu paruh baya bermantel bulu ditemani anjing tekel mencermati pahatan lampu kristal, dan pemuda berkulit hitam berambut ikal mencoba piano di sudut ruangan. Pendek kata, semua orang welcome.

Aula merangkap gudang itu sengaja dibagi-bagi dengan sekat berwarna merah: ada bagian mebel klasik, ruang lukisan, lampu, pecah-belah dapur, mainan, dan barang tak bertuan. Yang terakhir ini kebanyakan adalah kopor-kopor dari Bandara Schiphol. Bagasi tertinggal atau tak bertuan itu sudah diperiksa melalui scanner oleh petugas bandara. Kecil kemungkinan menemukan barang berharga atau obat terlarang di dalam kopor.

Konon, penyelundup narkotika pernah menggunakan metode ini. Mereka sengaja meninggalkan kopor berisi obat bius di bandara dan membelinya kembali dari balai-balai lelang. Rumah lelang berfungsi seperti informan polisi. Bea cukai Belanda mengamankan arloji dan perhiasan mewah selama setahun. Namun, jika tidak ada yang mengklaim hingga batas waktu habis, bakal diserahkan pula ke pelelangan.

Selain itu, masih ada ribuan botol parfum, krim wajah, pemukul bola kasti, gunting, pisau belati, pistol tiruan, dan ratusan perkakas sitaan yang dilarang masuk ke kabin pesawat. Sebagian besar dimusnahkan, sisanya dibeli oleh balai lelang. Kamera-kamera digital eksklusif akan dilelang per buah, sedangkan kamera saku boleh ditawar per kodi.

Bukan tidak mungkin, calon pembeli bisa memiliki kamera digital model terbaru dan iPod mutakhir dengan harga miring. Cukup banyak pembeli yang ‘licik’ menjual kembali hasil ‘buruan’ mereka di situs eBay dan sejenisnya. Sebelum acara lelang dimulai, pengunjung diberi kesempatan melihat-lihat obyek yang mereka incar. Kopi dan teh disediakan dekat meja administrasi.

Bagi mayoritas tamu, menonton pelelangan itu sendiri jauh lebih menarik ketimbang membayar sejumlah uang. Apalagi, kebanyakan juru lelang pandai memeriahkan suasana, pintar merayu, dan mengenal cukup banyak  pelanggannya. Yuk, lihat video terlampir… Kira-kira seperti ini suasana di auction house. Sorry dorry, basa Londo tapinya…

Lalu, bagaimana dengan kain songket kuno yang saya taksir? Kendati cukup menguras isi dompet, kain itu sudah terpajang di dinding ruang tamu saya. Mahal? Tambahkan komisi merangkap biaya administrasi 29%. Entah ya, saya kok cenderung membeli barang second hand, walaupun kadang malah lebih tinggi harganya. Kain usang dan nyaris lapuk itu seperti punya cerita dan sejarah sendiri.

Perabotan di rumah saya pun banyak yang lungsuran dari keluarga atau warisan turun-temurun pasangan saya. Goresan atau cacat yang dinilai sebagian orang tak sedap dipandang mata, buat saya justru jadi kick tersendiri. Bukannya irit atau pelit lho... Saya tak anti mobil gres dan parfum Donna Karan. Secara lagi krismon di Eropa, katanyahidup sinambung. Halah…

Oya, banyak juga perusahaan di Belanda yang bangkrut terimbas krisis dan melelang inventaris kantornya, termasuk mobil, rumah, dan barang dagangan. Berikut do’s and don’t’s jika Anda berminat sekali-kali ke auction house. Mudah-mudahan bisa dijadikan acuan. Melihat, mencium, dan meraba—itu sebenarnya esensi lelang. Mirip orang kasmaran. Haha…

  1. Pertama kali ke balai lelang? Amati suasana terlebih dahulu. Tak usah nafsu membeli sesuatu.
  2. Kunjungi open house day dua kali. Kunjungan pertama, Anda bakal terpukau dan buta. Kunjungan kedua, Anda mulai melihat kekurangan obyek yang Anda incar.
  3. Amati barang yang Anda taksir dengan seksama. Kadang, detail cantik tersembunyi di balik debu tebal, terutama mebel kuno.
  4. Usahakan duduk atau berdiri di barisan agak belakang. Lebih gampang melihat ‘saingan’ atau pembeli profesional.
  5. Harga yang tertera di katalog adalah kisaran—bisa lebih tinggi atau lebih rendah setelah dilelang. Ikuti naluriAnda.
  6. Menyesal setelah barang dibawa pulang atau kemahalan? Ah, itu biasa… Next time better…
  7. Belakangan, perabotan antik terbuat dari kayu mahoni makin turun harganya. Emas relatif stabil, tapi lebih baik tawar-menawar di toko perhiasan.
  8. Jangan lupa komisi atau biaya administrasi sekitar 25-30% harga lelang.
  9. Acungkan jari atau tangan sewaktu menawar, jangan gunakan secarik kertas atau koran.
  10. Siap-siap kecanduan. Hehe…

Amsterdam, 30 Agustus 2012

12991788471689539536
12991788471689539536

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun