Mohon tunggu...
Isa Alïmusa
Isa Alïmusa Mohon Tunggu... -

I walk like a cat on a hot tin roof. Cautiously. Some say it's easy, some say it's not. I think it's not. I do my best not to fall.\r\n\r\n"What is the victory of a cat on a hot tin roof? - I wish I knew... Just staying on it, I guess, as long as she can" \r\n(Tennessee Williams)\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

<i>Modern Slavery</i> Bukan Hanya Momok TKI

25 Februari 2012   16:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   09:20 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perbudakan masih banyak ditemukan di balik pintu rumah-rumah mewah, restoran, dan lahan pertanian di Belanda. Secara teoretis bentuk eksploitasi manusia ini sudah dihapus sejak 2005, namun pada praktiknya oknum pelaku masih bebas berkeliaran. Maria (31) asal Filipina menceritakan pengalamannya sebagai pembantu rumah tangga. Bukan hanya waktu kerja 10 hingga 11 jam per hari, daftar keluhan majikannya, atau hukuman larangan keluar rumah yang dianggap berat oleh Maria.

Akhir musim dingin 2007 lalu, Maria diajak berlibur bersama majikannya. Untuk pertama kalinya ia dapat duduk di satu meja bersama majikan perempuannya. “Luar biasa bukan, sekali-kali kamu merasakan dilayani!” ujar majikan Maria dengan nada ringan. Bagi Maria, ucapan majikannya sangat melecehkan. Ia bercerita sambil menggigit bibir dan air mata membasahi pipinya. Rasa malu dan amarah masih berkecamuk. Maria hanya dapat menangis ‘menikmati’ sisa liburannya.

Maria memutuskan berhenti bekerja. ‘Nyonya besar’ murka dan mengingatkan Maria biaya € 3000 yang dikeluarkannya untuk mendatangkan Maria. Ia juga mengancam akan membeberkan praktik ilegal agen Maria di Filipina. Maria tetap bersikeras hengkang dari majikannya. Empat tahun kemudian, ia masih berada ilegal di Belanda. Menurutnya, tak mungkin kembali ke Filipina. Tiket pesawat Maria masih dipegang bekas majikannya. Maria sendiri tidak mempunyai dokumen perjalanan resmi dan penghasilannya terlalu sedikit. “Selain itu, mereka mengancam bakal berbuat sesuatu terhadap ibu saya di Filipina,” terang Maria.

Menuntut melalui jalur hukum juga sia-sia. Sewaktu Maria bekerja sebagai PRT, hanya eksploitasi dan perdagangan manusia terkait prostitusi yang dapat dituntut melalui jalur hukum. Baru pada 2005, ketentuan tersebut diperluas dengan ‘sektor lainnya’. Menurut publikasi resmi, angka korban praktik ini relatif rendah. Namun, orang mulai sadar, perbudakan terselubung masih banyak terjadi di Belanda—entah di rumah tangga, perusahaan cleaning service, lahan pertanian, lokasi bangunan, ataupun rumah makan di sudut-sudut jalan.

[caption id="attachment_173479" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi: filipspagnolli.wordpress.com"][/caption]

2007 silam, Pusat Koordinasi Perdagangan Manusia (Comensha) melaporkan 25 kasus: 13 bekerja sebagai PRT, 9 di restoran dan 3 di lokasi bangunan. Sebagai perbandingan, korban perdagangan wanita terkait prostitusi di tahun yang sama ada 382 orang. Namun, Maria de Cock, Wakil Direktur Comensha, memperingatkan bahwa data-data tersebut tidak mewakili keadaan sebenarnya. “Praktik ilegal seperti itu dilakukan oleh organisasi-organisasi kriminal. Pada dasarnya, perbudakan tetap berlangsung,” ungkap De Cock.

Acapkali, para korban tidak berani melapor. Mereka takut balas dendam organisasi kriminal bersangkutan atau tak percaya dengan pemerintah Belanda. Biasanya, korban harus mendekam di penjara. Padahal, mereka berhak mendapat tempat tinggal sementara. Akomodasi khusus hingga saat ini belum ada. “Mereka kerap diinapkan di tempat penampungan pengemis atau tuna wisma. Kepolisian menomorduakan kasus ini. Hakim pun tidak mengetahui efek psikologis terhadap korban. Tahun 2006, polisi memberantas sebuah kebun ganja di Rotterdam dan tak sengaja menemukan seorang wanita Bulgaria yang berminggu-minggu disekap dan diperkosa,” lanjut De Cock.

Badan Intelijen dan Reserse Belanda membunyikan alarm pada 2005 ihwal grup kriminal Afrika Barat yang menyelundupkan manusia ke Belanda. Ribuan korban bekerja dengan upah amat minim di perusahaan jasa cleaning service atau tempat pemotongan ternak. Mereka tinggal berdesakan, kadang harus tidur di kursi seadanya, dan paspor mereka ditahan oleh agen. Ironisnya, penyelundup mereka bebas berkeliaran dan tidak pernah dituntut secara hukum. Mereka tidak dapat dijatuhi hukuman karena menurut hakim ada ‘hubungan kerja’. Selain itu, masih banyak kasus serupa di restoran Cina yang pemiliknya mengeksploitasi rekan sebangsanya atau organisasi kriminal Turki yang mempekerjakan penduduk Bulgaria di perkebunan ganja.

Sejak Undang-undang Anti Perbudakan disahkan tahun 2005 di Belanda, hanya satu vonis dijatuhkan. Akhir 2007 lalu, seorang anak keturunan India berusia 1,5 tahun tewas di tangan pengasuhnya. Pengasuh anak itu terbukti ilegal dan harus bekerja melampaui batas waktu yang ditentukan dengan upah minim di kediaman paman dan bibinya. Pasangan ini diganjar hukuman tiga tahun penjara akibat eksploitasi manusia. UU Anti Perbudakan ini banyak dikritik, terutama karena hukuman yang tak setimpal. Apa perbedaan antara perdagangan manusia dan eksploitasi tenaga kerja?

“UU Anti Perbudakan masih belum sempurna. Keputusan sepenuhnya berada di tangan hakim. Mereka harus menjelaskan definisi hubungan kerja tidak seimbang atau eksploitasi. Ancaman hukuman penjara maksimal 6 tahun tidak sebanding. Perdagangan manusia sangat menguntungkan dan termasuk kriminalitas serius,” tutur Corinne Dettmeijer, jubir Komisi Nasional Perdagangan Manusia. “Semua sudah diatur hitam di atas putih, tapi pada prakteknya sering diabaikan. Polisi kerap tak mengindahkan sinyal masyarakat awam,” tambahnya.

Maria de Cock dari Comensha pun menyerukan hal senada. “Seringkali kita terpaku dengan harga murah, misalnya ketika mencari buruh bangunan untuk renovasi atau pembantu rumah tangga. Padahal, perdagangan manusia terselubung di baliknya,” paparnya. Kasus Maria pun berawal dengan iklan di surat kabar. Pada praktiknya, Maria harus kerja mulai pukul 6 pagi hingga larut malam dan gaji € 450 per bulan jauh dari mencukupi.

Kasus Maria ditangani oleh Bonded Labour in Nederland (BLinN). Menurut BLinN, masih banyak tenaga kerja disalahgunakan, terutama di keluarga-keluarga diplomat Asia, Afrika, dan Timur Tengah. “Mereka mendatangkan tenaga kerja dari Filipina dengan izin tinggal sementara. Tenaga kerja tersebut tergantung sepenuhnya pada majikannya. Jika mereka protes, mudah sekali mengirim tenaga kerja itu kembali ke negara asalnya ,” tandas Eline Willemsen, jubir BLinN.

Contoh kasus modern slavery yang tercatat 2007 di Belanda:

  • Lin bekerja di sebuah restoran Cina ketika imigrasi menangkapnya. Ia menetap ilegal di Belanda. Sewaktu diinterogasi, ia menjelaskan penderitaannya. 2006 lalu, ia harus meminjam € 27.000 biaya perjalanan ke Belanda dari sebuah organisasi penyelundup. Lin membayar hutangnya dengan bekerja di restoran selama 6 tahun, 6 hari setiap pekan, tanpa upah sepeser pun. Jika Lin protes, nyawa keluarganya terancam. Lin takut menghubungi keluarganya di Cina. Lin menuntut restoran tempat ia bekerja. Sekarang, ia tinggal legal dan mempunyai pekerjaan tetap di Belanda. Lin menyisihkan sebagian uangnya untuk membantu keluarganya di Cina.
  • Fernando (28) dari Amerika Latin amat senang ketika mendengar kabar dapat bekerja di sebuah laboratorium di Belanda. Ia akan digaji € 1000 per bulan dan bisa tinggal sementara di rumah saudaranya di Belanda. Izin tinggalnya akan diurus oleh biro tenaga kerja tempat ia melamar. Setiba di Belanda, ternyata Fernando bekerja 90 hingga 100 jam setiap pekan di gudang es tanpa istirahat. Ia harus mulai tiap dini hari. Lokasi kerjanya bervariasi antara Groningen dan pelabuhan di Rotterdam. Sebulan kemudian, ia terkena infeksi saluran pernafasan. Atasannya bersikeras, Fernando harus tetap bekerja. Jika Fernando menolak, ia bakal dipecat dan tiket pesawatnya akan dibatalkan. Ia menerima upah € 400 dan izin kerjanya ternyata tidak pernah ada. Setelah beberapa kali protes, akhirnya ia mendapat tiket pesawat dan tawaran ‘uang tutup mulut’. Fernando menolak melapor ke pihak berwajib. Ia prihatin dengan nasib 12 rekan lainnya dan khawatir publikasi akan merusak reputasinya sebagai insinyur. Kini, ia tinggal ilegal bersama partnernya di Belanda.
  • Petrovic asal Rumania bekerja di sebuah perusahaan bangunan Belanda. Ia ingin mengobati putranya yang sakit. Semula, semua berjalan lancar. Namun, statusnya ternyata ilegal di Belanda. Ia harus tidur di lokasi bangunan, dilarang menghubungi keluarganya, kerap dianiaya, dan diancam akan dilaporkan ke polisi. Petrovic terjaring razia dan diberi waktu 3 bulan untuk menuntut atasannya.

Amsterdam, 25 Februari 2012

12991788471689539536
12991788471689539536

Sumber: Harian Noordhollands Dagblad “Huisslaaf voor ’n grijpstuiver” (12-04-2008)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun